Bab 1 Bangga Menjadi Anak Indonesia
Menyimak
Simak guru membacakan
cerita tentang anak baru ini.
Aku Anak Indonesia
Hana
melangkahkan kakinya dengan gelisah. Dia menendang-nendang kerikil yang ia
temui sepanjang jalan. Raut mukanya tampak cemas. Ini adalah hari pertamanya
masuk sekolah baru di Indonesia. Keluarganya baru saja pindah dari Kyoto,
Jepang, tempat ayahnya menyelesaikan pendidikan doktor.
Sesampai
di halaman sekolah yang rindang, Pak Rizal, ayahnya, menawari Hana untuk ikut
menemaninya masuk ke kelas. Namun, Hana menolak. Meski khawatir, dia merasa
malu kalau harus ditemani orang tuanya. Di Kyoto, dia bahkan sudah berangkat
dan pulang sekolah sendiri sejak kelas 1 SD.
“Hana,
kamu anak pemberani. Jangan khawatir, anak-anak Indonesia ramahramah. Mereka
pasti akan senang punya teman baru,” kata ayahnya.
Hana
mengangguk.
“Nanti
Ayah akan datang lagi menjemputmu ya. Ayah perlu pergi dulu ke tukang cukur,
rambut ayah sudah gondrong begini,” tambah ayahnya lagi sambil menepuk pundak
Hana.
Jarak
rumah Hana dengan SDN Gaharu hanya lima ratus meter, sehingga dia bisa berjalan
kaki ke sekolah. Begitu masuk melewati gerbang sekolah, bel berdentang. Semua
siswa berlarian masuk ke kelas masing-masing. Hana mencari kelas dengan lambang
VI di atas pintu.
Begitu
Hana masuk, Bu Pertiwi, guru kelas enam, menyambutnya dengan senyuman lebar.
“Ah,
kamu pasti Hana. Ayo masuk. Ibu carikan tempat duduk dulu untuk meletakkan
tasmu, lalu berkenalan dengan teman-teman sekelasmu.”
Hana
mengangguk malu-malu. Dia merasa seluruh pasang mata di kelas ini sedang
menatapnya. Dia mendengar bisik-bisik meski tidak jelas apa yang mereka bicarakan.
Dada Hana berdegup semakin kencang.
Bu
Pertiwi menyilakan Hana untuk berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri.
“Selamat
pagi teman-teman…” katanya mengawali perkenalan. Kemarin, Hana sudah berlatih
di depan cermin agar dia tidak canggung mengucapkan kata-kata perkenalan dalam
bahasa Indonesia.
“Tolong
suaranya lebih keras lagi, biar semuanya bisa mendengar,” kata Bu Pertiwi.
“Nama
saya Hana. Saya berusia dua belas tahun. Saya pindah dari Kyoto, Jepang. Ayah
saya baru menamatkan kuliahnya di sana. Kami pindah ke kota ini karena ayah
saya akan bekerja di sini. Saya senang berkenalan dengan teman-teman semua.
Arigato. Eh, terima kasih.” Hana mengakhiri perkenalannya dengan menjura,
membungkukkan badannya.
Ketika
kembali berdiri tegak, ia melihat senyum terkembang dari teman-teman sekelasnya.
Hana lega, kecemasannya berkurang.
“Terima
kasih Hana. Ada yang ingin kalian tanyakan pada Hana?” ujar Bu Pertiwi.
Seorang
anak laki-laki mengacungkan tangan. “Kamu asalnya dari mana? Oh ya, namaku
Arjuna, biasa dipanggil Juna.”
Teman-teman
yang lain bersorak, “Huuu…” Sepertinya Juna memang anak yang suka mencari perhatian.
Hana bingung, bagaimana harus menjawab pertanyaan Juna. Di Jepang, dia dengan
mudah menjawab bahwa dia berasal dari Indonesia. Tapi di Indonesia, dia harus
menjawab apa?
“Saya
berasal dari Indonesia…” kata Hana pelan dan ragu.
Teman-teman
tertawa. Bu Pertiwi menengahi, “Mungkin maksud Arjuna, Hana lahir di mana?”
“Oh…
saya lahir di Makassar.”
“Berarti
kamu asli Makassar,” sahut Juna dari bangku paling belakang.
“Tapi…
ayah saya berasal dari Padang dan ibu saya berasal dari Sunda,” tambah Hana,
menyanggah ucapan Juna itu.
Bu
Pertiwi angkat bicara, “Sekarang ini memang susah kalau ditanya asalnya atau
aslinya dari mana, karena manusia semakin terhubung dan juga berpindah-pindah.
Seperti Hana, misalnya, yang punya orang tua dari daerah dan suku yang berbeda.
Yang jelas, Hana adalah anak Indonesia. Betul kan, Hana?” Hana mengangguk.
“Jadi,
apa yang membuat kalian mengaku sebagai anak Indonesia?” tanya Bu Pertiwi ke
seluruh kelas.
“Karena
kita lahir di Indonesia,” jawab Salim sambil mengacungkan tangannya.
“Tapi
... adikku, Naomi, lahir di Kyoto dan dia tetap anak Indonesia,” sanggah Hana,
yang mulai berani menyampaikan pendapatnya.
“Hana benar. Aku lahir di
Berlin. Orang tuaku Jawa. Aku tetap anak Indonesia,” sahut Agni, gadis
berkacamata yang duduk paling depan.
“Kalian sama-sama benar.
Anak Indonesia adalah anak-anak yang lahir atau tinggal di Indonesia, atau
anak-anak yang ayah ibunya atau salah satu orang tuanya orang Indonesia.
Apalagi yang membuat kita Indonesia?” lanjut Bu Pertiwi.
“Karena kita bisa berbahasa
Indonesia, Bu,” kata Melodi dengan nada bicara yang lembut. Hati Hana menciut.
Dia merasa belum mahir benar berbahasa Indonesia. Di sekolah lamanya, bahasa
pengantar yang dipakai adalah bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Rupanya Bu
Pertiwi melihat perubahan raut wajah Hana. Dia meminta Hana menjelaskan apa
yang menjadi kekhawatirannya.
Setelah mendengar curahan
hati Hana, Bu Pertiwi berusaha membesarkan hatinya. “Jangan khawatir. Dulu Agni
ketika pindah ke kelas dua juga belum lancar berbahasa Indonesia. Tapi, bapak
ibu guru dan semua teman ikut membantu. Sekarang, Agni sudah mahir berbahasa
Indonesia dan bahkan buku kumpulan cerpennya baru saja terbit.”
Agni tampak tersipu.
“Jangan khawatir, Hana.
Nanti aku juga bisa ajari kamu bahasa Jawa,” timpal Juna. Seketika teriakan
“huuu ... ” kembali bergema.
Tiba-tiba Salim berteriak
sambil menunjuk ke jendela. “Hantuuu!” Semua mata menoleh ke arah yang ditunjuk
Salim. Hana melihat ada kepala botak yang muncul dan tenggelam dari balik jendela
yang kusennya dipasang tinggi, khas arsitektur gedung peninggalan Belanda. Bu
Pertiwi melangkah menuju pintu untuk melihat siapa yang ada di luar. Tidak
mungkin ada hantu di siang bolong. Anak-anak ribut sambil menunjuk-nunjuk ke
arah jendela. Ternyata itu adalah Pak Rizal, ayah Hana, yang rambutnya sudah
habis tercukur.
“Maaf, Bu Pertiwi, saya mau
menyusulkan oleh-oleh dari Jepang untuk temanteman Hana. Tadi tidak sempat
terbawa Hana karena dia terburu-buru,” Pak Rizal berkata dari jendela.
Hana baru sadar bahwa dia
melupakan cendera mata yang sudah dia siapkan untuk teman-teman barunya. Kelas
kembali riuh. Hana mengedarkan kantungkantung berisi permen Wagashi dan sisir
Tsuge, buah tangan khas dari Tokyo.
Hatinya menghangat karena
teman-teman barunya memang ramah dan senang hati menerimanya sebagai penghuni
kelas yang baru. Hana menyalami temannya satu per satu dan mencoba menghafalkan
nama-nama mereka. Sampai di ujung kelas, siswa yang terakhir dia salami
berkata, “Jangan sampai lupa, namaku Juna.”
Setelah menyimak, jawablah pertanyaan pada tautan berikut!
https://forms.gle/YZbNNjzQCETT65Qi8
Tautan Soal Latihan
https://app.Lumi.education/run/vrogu4
No comments:
Post a Comment