Monday, October 28, 2024

Tugas Bahasa Indonesia Kelas 6

 Tugas Bahasa Indonesia Kelas 6


1. Bacalah teks ini dengan nyaring!


Isabel dan Melati Wijsen:

Aktivis Lingkungan dan Pendiri Bye Bye Plastic Bag


Melati dan Isabel, yang berumur 12 dan 10 tahun, adalah kakak adik dari Pulau Bali. Sejak kecil, mereka suka bertualang, seperti bersepeda ke daerah-daerah pedesaan. Alam Bali adalah tempat bermain mereka.

 Di sekolah, Melati dan Isabel belajar tentang orang-orang yang mengubah dunia, seperti Nelson Mandela, Martin Luther King, dan Mahatma Gandhi. Terinspirasi dari tokoh-tokoh tersebut, Melati dan Isabel berpikir, “Perubahan apa, ya, yang bisa kita buat sekarang sebagai anak-anak Pulau Bali?”

Ternyata jawabannya ada di depan mata mereka. Di pantai, Melati sering melihat tumpukan sampah plastik. Ketika bersepeda, Isabel selalu melihat sampah plastik bertebaran.

Mereka sadar bahwa tempat bermain mereka yang indah semakin kotor, dan waktunya untuk mereka berkata, “Cukup!” Melati dan Isabel tahu mereka harus berjuang untuk membuat Pulau Bali bebas dari sampah plastik. Gerakan ini mereka namakan Bye Bye Plastic Bag.

 

2. Setelah membaca teks, selanjutkan kerjakan soal kuis pada tautan berikut. Klik pada tautan!

https://app.lumi.education/h5p/lengkapi-paragraf-berikut-dengan-kata-kata-yang-tersedia-hd-p7a


3. Terakhir kerjakan soal evaluasi pada tautan berikut!

https://forms.gle/BvHBmABvf4EvJyQL8


Terima kasih.

Semangat!

 https://app.lumi.education/h5p/bhs-sunda-h-blxn

Sunday, October 27, 2024

Gerak Bumi dan Bulan Terhadap Matahari (IPAS Kelas 6)

 

Gerak Bumi dan Bulan Tehadap Matahari

(Menjelajahi Bumi dan Antariksa Bagian #1)

Pertanyaan Esensial

1. Bagaimana Bumi bergerak?

2. Mengapa kita tidak merasakan pergerakan Bumi?

3. Apa hubungan antara Bumi, Matahari, dan Bulan?


Tahukah kalian, pergerakan Bumi mengakibatkan Matahari terbit dan terbenam. Tanpa kita sadari, Bumi terus bergerak setiap saat. Bagaimanakah Bumi kita bergerak? Mengapa kita tidak merasakannya, ya? Yuk, kita pelajari lebih lanjut!


Bumi, Bulan, dan Matahari 

Saat Matahari terbit dan terbenam, kita melihat seakan-akan Matahari bergerak. Walaupun begitu, ternyata Bumilah yang bergerak. Tanpa kita sadari, Bumi kita berputar setiap detiknya.

Bumi selalu berputar pada poros atau sumbunya. Gerakan ini disebut rotasi. Bumi berputar berlawanan arah jarum jam dan membutuhkan waktu 23 jam 56 menit untuk satu kali rotasi. 

Bumi bergerak dengan waktu dan kecepatan yang sama setiap saat. Hal ini membuat kita tidak merasakan pergerakannya.


Sambil berotasi, Bumi juga berputar mengelilingi Matahari pada orbitnya yang tetap. Gerakan ini disebut revolusi. Ketika berevolusi, kita juga bisa menyebut bahwa Bumi mengorbit Matahari. 

Waktu untuk Bumi melakukan satu kali revolusi, yaitu 365,25 hari. Orbit Bumi berbentuk elips atau oval. 


Bulan mirip seperti Bumi, ia juga berotasi dan berevolusi. Namun, Bulan berevolusi terhadap Bumi. Akibatnya, Bulan juga akan mengikuti Bumi mengorbit Matahari. 

Waktu untuk Bulan satu kali berevolusi terhadap Bumi, yaitu sekitar 28 hari. Waktu Bulan berotasi sama dengan waktu revolusinya.



Gaya Gravitasi di Antariksa 

Di Bumi, gaya gravitasi dari Bumilah yang paling berpengaruh terhadap penghuninya. Pusat gravitasi Bumi ada di inti Bumi sehingga semua objek yang ada di Bumi akan tertarik ke pusat Bumi. 

Lain halnya jika kita berbicara mengenai antariksa. Benda-benda langit akan tertarik ke benda lainnya yang memiliki gaya gravitasi paling besar. Matahari memiliki gaya gravitasi yang sangat besar.

Orbit Bumi terbentuk karena adanya tarikan dari gravitasi Matahari terhadap Bumi. Adapun Bulan mendapatkan pengaruh dari gravitasi Bumi serta Matahari.




Kosakata Baru

poros : sumbu (gandar) roda dan sebagainya. 

sumbu : garis khayalan yang menembus titik pusat Kutub Utara dan menembus titik Kutub Selatan. 

orbit : jalan yang dilalui oleh benda langit dalam peredarannya mengelilingi benda langit lain.


Semangat!


Thursday, October 24, 2024

RANGKUMAN KONEKSI ANTAR MATERI 3.1 CGP 11/2024 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN

 

RANGKUMAN KONEKSI ANTAR MATERI 3.1 CGP 11/2024

PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN


Ada kutipan menarik dari Bob Talbert, mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga (utama) adalah yang terbaik.


Kutipan di atas bisa bermakna bahwa penting mengajarkan anak berhitung itu penting namun mengajarkan apa yang penting itulah yang paling penting.

Ya. Mengajarkan nilai, atau sesuatu yang bermakna bagi peserta didik itu adalah prioritas. Bukan sekadar mengajarkan hal teknis yang bisa dipikir dan diadaptasi oleh anak-anak. Bukan hanya mengajarkan sesuatu yang bisa didapatkan dengan eksplorasi pemahaman dengan sedikit tantangan. Namun kita harus lebih concern mengajarkan hal-hal prinsip, nilai, atau sesuatu yang berlaku universal dan eternal kepada peserta didik.

Bahkan lebih dari itu, nilai-nilai yang telah dipahami dan diadaptasi oleh anak-anak akan menjadi nilai mereka sendiri. Akan menjadi diri mereka sendiri. Jika hal tersebut telah berjalan maka dengan sendirinya peserta didik akan menjadi persona sekaligus pesona tersendiri. Mereka akan menginspirasi lingkungan mereka. Inilah yang kita harapakan, yakni lahirnya pemimpin-pemimpin yang menjunjung nilai-nilai universal.

Adapun dari sudut pandang sebagai guru akan menjadi tantangan tersendiri, bagaimana kita bisa menginspirasi mereka para peserta didik dengan nilai-nilai yang kita yakini.


Tentu menjadi naif jika kita yang hendak menginspirasi peserta didik namun gagal memperlihatkan nilai-nilai yang kita anut menjadi seperangkat perilaku. Sungguh hanya omong kosong belaka kita ingin membangkitkan nilai pada peserta didik sementara kita sendiri tidak mampu mengejawantahkannya dalam perilaku.

Seperti kata-kata mashur lisanul hal aqwa min lisanul maqal. Bahwa contoh dalam bentuk perilaku akan lebih kuat dan lebih menginspirasi dari sekadar kata-kata.


Selanjutnya kita cermati kutipan dari Hegel berikut.


Pendidikan adalah sebuah seni untuk membuat manusia menjadi berperilaku etis.

Yes. Pendidikan itu seni bagaimana memanusiakan manusia dengan cara manusiawi agar mereka sadar bahwa mereka manusia.

Dengan menyadari takdir hidupnya sebagai manusia, maka peserta didik akan memahami ada nilai (etika, estetika, logika, serta dialektika) yang harus mereka jaga.

Kutipan di atas juga senada dengan definisi pendidikan fann tasykil al-insan atau pendidikan adalah seni menciptakan manusia dalam arti seutuhnya. Manusia yang memiliki fitrah, memiliki potensi, memiliki nilai, memiliki etika.


Pratap Trilogi Ki Hadjar Dewantara dalam Pengambilan Keputusan

Bapak pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara mencetuskan pratap triloka yang terdiri tiga bagian.

Pertama, ing ngarso sung tuladha.

Di depan menjadi contoh. Artinya, seorang pemimpin harus mampu memberikan contoh yang baik kepada orang yang dipimpinnya. Dalam pengambilan keputusan, pemimpin harus menjadi teladan dengan memilih keputusan yang bijaksana, adil, dan berorientasi pada kebaikan bersama.

 Kedua, ing madya mangun karsa.

Di tengah membangun semangat. Seorang pemimpin harus mampu memotivasi dan membangkitkan semangat kerja sama di antara anggota kelompoknya. Dalam pengambilan keputusan, pemimpin perlu melibatkan anggota tim dalam proses pengambilan keputusan, mendengarkan masukan mereka, dan membangun konsensus.

Ketiga, tut wuri handayani.

Di belakang memberi dorongan. Seorang pemimpin harus mampu memberikan dukungan dan dorongan kepada anggota timnya. Dalam pengambilan keputusan, pemimpin perlu memberikan dukungan kepada tim setelah keputusan diambil, membantu mengatasi tantangan, dan memberikan apresiasi atas kontribusi mereka.

Ketiga prinsip tersebut, dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan adalah sebagai berikut.

1.    Pengambilan keputusan akan menghasilkan yang terbaik. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, yakni menjadi teladan, memberi semangat, serta menjadi energy pendorong segala kebaikan akan menghasilkan nilai-nilai yang terbaik bagi kepentingan bersama. Karena dengan menjadi teladan, pemimpin akan lebih bijaksana dalam memilih keputusan. Dengan melibatkan anggota tim, pemimpin akan mendapatkan perspektif yang lebih luas dan keputusan yang diambil akan lebih tepat.

2.    Akan membangkitakn kebersamaan dan kekompakan tim. Dengan berpegang pada nilai-nilai pratap triloka tersebut akan selalu terjalin kebersamaan dalam suasan hangat dan akrab. Suasana seperti ini sangat penting dalam menjaga ritam dan kesolidan tim atau organisasi pada level apapun.

3.    Suasana hangat dan akrab akan melahirkan dampak berikutnya yakni meningktakan kinerja tim. Dalam suasana yang rapat dan penuh semangat peningkatan kinerja akan melahirkan produktivitas serta pencapaian target-target yang direncanakan. 


    Contoh penerapan dalam kehidupan nyata seorang kepala sekolah misalnya. Ketika hendak mengambil keputusan tentang perubahan kurikulum maka langkah pertama yang diambil adalah meneraptak pratap trilogy Ki Hadjar Dewantara tersebut.

Dengan menjalankan ing ngarso sung tuladha, Kepala sekolah mempelajari berbagai kurikulum baru dan memilih kurikulum yang paling sesuai dengan kebutuhan siswa dan sekolah. Ia juga menjadi orang yang pertama menerapkan kurikulum baru di kelasnya untuk menunjukkan contoh.

Selain itu dengan menerapkan ing madya mangun karsa, Kepala sekolah mengadakan rapat dengan guru-guru untuk membahas perubahan kurikulum. Ia mendengarkan masukan dan ide-ide dari guru-guru, serta melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun memiliki wewenang dalam memutuskan segala kebijakan sekolah, ia akan tetap mendengarkan aspirasi semua waraga sekolah.

Terakhir dengan mengimplementasikan tut wuri handayani, Kepala Sekolah akan terus dan selalu memberikan dukungan dengan segenap daya dan energinya demi tercapai tujuan yang dicita-citakan bersama.

Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?

Nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita akan secara otomatis mempengaruhi segala perilaku kita. Nilai-nilai yang kita yakini serta kita anut tersebut akan tertanam dalam alam bawah sadar kita.

Seperti kata ahli bahwa 80 persen aktivitas kita dipengaruhi oleh pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar otomatis muncul menggerakan anggota tubuh kita dalam mekanisme cepat dan terukur.

Mengutip Gunawan (2012) manusia memiliki dua jenis pikiran, yaitu pikiran sadar (conscious) dan pikiran bawah sadar (subconciuos). Kedua pikiran saling berkomunikasi dan bekerja sama dalam waktu bersamaan dengan paralel. 

 


Menariknya pikiran bawah sadar mempengaruhi 8 (delapan) hal kegiatan kita. Kedelapan hal tersebut adalah 1) kebiasaan baik, buruk, atau refleks; 2) emosi terhadap suatu hal atau keadaan atau orang tertentu; 3) memori jangka Panjang yang bersifat permanen; 4) kepribadian yang merupakan karakteristik individual kita saat berhubungan dengan orang lain; 5)  intuisi; 6) kreativitas; 7) persepsi; serta 8) kepercayaan (belief) dan nilai (value)

Belief adalah segala sesuatu yang diyakini sebagai suatu yang benar, sedangkan value adalah segala sesuatiu yang dianggap penting.

Jadi, nilai-nilai yang kita anut akan merasuk ke dalam pikiran bawah sadar kita menjadi suatu nilai kebajikan. Nah, niali-nilai kebajikan tersebut akan muncul lagi dalam pengambilan keputusaan yang kita ambil.

Artinya, nilai diri kita akan mempengaruhi segala pengambilan keputusan yang kita ambil. Apa yang kita yakini akan menjadi kebijakan yang kita terapkan.

 

Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan ‘coaching’ (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil? Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut? Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi ‘coaching’ yang telah dibahas pada sebelumnya.

 

Materi pengambilan keputusan berkaitan dengan coaching sungguh sangat membantu saya dalam cara menentukan keputusan. Bimbingan dari fasilitator telah membantu bagaimana mengidentifikasi serta mengkontruksi ilmu-ilmu baru menjadi bagian integral dalam diri saya.

Sesi pelatihan dan coaching sangat efektif membantu pemahaman serta keterampilan saya dalam menganalisis suatu kasus untuk dipecahkan.

Artinya, kita semua tetap membutuhkan coach, mentor, kosultan, serta trainer yang membantu kita dalam menyelsaiakn segala permasalahan yang kita hadapi.

 

 

Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?

 

Kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek social emosional akan berpengaruh pada pengambilan keputusan yang diambilnya termasuk menyangkut kasus-kasus dilemma etika.

Kemampuan guru dalam mengelola aspek social emosi tersebut akan berpengaruh pada bias-bias yang mungkin muncuil pada kasus yang dihadapinya. Karena itu guru harus mampu mengelola (baca: matang secara social-emosional) sehingga bisa melihat kasus lebih proprosional.

Proporsional bermakna objektif atau adail dalam menilai; kemudian mengedpankan etika; serta selalu memberikan empatai pada porsinya.

 

Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?

Pembahasan studi kasus dilemma etika akan sangat berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut oleh pendidik yang bersangkutan. Namun demikian tidak menjadi soal selama bisa membedakan mana kasus yang termasuk dilemma etika atau bujukan moral.

Dalam kerangka pemahaman dilemma etika yang tepat apapun nilai yang dianut pendidik, akan meghasilkan keputusan yang relevan.

Dan tentu, pengambilan keputusan yang tepat akan meghasilkan suasana positif, kondusif, aman, dan nyaman.

 

Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?

Jelas. Selalu ada tantangan dalam setiap situasi yang kita hadapi, termasuk dalam menentukan keputusan yang tepat dalam konteks dilema etika. Tantangan akan sangat spesifik bergantung situasi yang terjadi. Terlebih lingkungan sekolah yang heterogen akan menghasilkan ide-ide yang juga heterogen.

 

Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?

Ini pertanyaan yang paling relevan dengan kutipan Mendibudrestek Nadiem Makarim bahwa muara segala keputusan yang diambil adalah mengutamakan peserta didik.

Jelas apapun keputusan (dalam kaitan pembelajaran) adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan belajar peserta didik. Seperti pesan Ki Hadjar Dewantara, menghamba pada murid. Bahwa kita memiliki satu platform bersama, commonsense bersama, bahwa sejak dalam benak pikiran hingga perilaku kita, kebutuhan belajar murid adalah yang utama.

Bagaimana memutuskan hal yang tepat bagi pembelajaran peserta didik? Kita dengan panduan ilmu pedagogik tentu sudah memahami tahapan-tahapan pembelajaran yang tepat. Hal ini memberikan kita pemahaman bagaimana menyusun hal-hal teknis dalam pembelajaran berkualitas bagi peserta didik. Ya, dimulai dari asesmen, pelaksanaan, evaluasi, serta umpan balik mesti kita siapkan. Tak lupa kita juga selalu mengevaluasi diri cara kita melaksanakan pembelajaran.


Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?

Jelas. Pemimpin pembelajaran, di sini bermakna guru, adalah role model yang paling dekat bagi peserta didik. Role model yang memiliki nilai kuat (= integritas) akan memberikan dampak tidak hanya situasional belaka tetapi juga mempengaruhi alam bawah sadar peserta didik.

Keputusan tepat seorang guru secara jangka pendek akan mengantarkan peserta didik ke jalan cita-cita pembelajaran yang tepat. Selanjutnya dalam jangka panjang akan menginspirasi peserta didik dalam mengaktusalisasikan diri di masa depan.

 

Kesimpulan

Pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan adalah hal mendasar bagi pemimpin pembelajaran. Semua langkah dalam pengambilan keputusan harus terukur, terarah, serta mementingkan muara segala muara pendidikan, yakni peserta didik.

Kita dengan panduan sembilan langkah analisis kasus dilema etika misalnya, akan menghasilkan suatu keputusan bermanfaat bagi peserta didik di satu sisi serta di sisi lain akan menginspirasi mereka di masa depan.

Kita dengan nilai dan integritas kita yang tertanam dalam pikiran bawah sadar akan menghasilkan kebijakan terbaik yang relevan bagi peserta didik.

Apapun itu kembali seperti kutipan dari Bapak Menteri di atas.

Beban dan amanah kepemimpinan adalah mengimbangi semua prioritas yang terpenting. Tugas saya dalam pendidikan adalah melakukan yang terbaik.  Apa yang diinginkan kadang-kadang belum tentu  itu yang terbaik. Dan untuk membuat perubahan, apalagi perubahan yang transformasional, pasti ada kritik.  Sebelum mengambil keputusan, tanyakan, apakah yang kita lakukan berdampak pada peningkatan pembelajaran murid?

-Nadiem Makarim, 2020








Thursday, October 17, 2024

Modul 3.3. CGP 11/2024 PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK POSITIF PADA MURID

 Modul 3.3. CGP 11/2024


MODUL 3.3. PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK POSITIF PADA MURID

Kompetensi Lulusan yang Dituju

Modul ini diharapkan berkontribusi untuk mencapai kompetensi lulusan sebagai berikut:

1.    Guru Penggerak mampu menggerakkan komunitas sekolah untuk bersama-sama mengembangkan dan mewujudkan visi sekolah yang berpihak pada murid dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal.

2.    Guru Penggerak melakukan pendampingan kepada seluruh komunitas sekolah untuk dapat menggunakan pendekatan reflektif dan iteratif dalam mengelola program dan sumber daya sekolah.

3.    Guru Penggerak merencanakan, menginisiasi dan mengorganisasi kerangka program pengembangan sekolah yang mendorong kepemimpinan murid berbasis data dan bukti.

4.    Guru Penggerak memfasilitasi pelibatan orang tua/wali murid dan masyarakat dalam pengembangan sekolah untuk peningkatan kualitas belajar murid.

 


Capaian Umum Modul 3.3

Secara umum, capaian dari modul ini adalah:

1.    CGP menyadari murid sebagai mitra bagi guru dalam pembelajaran.

2.    CGP mengupayakan terwujudnya lingkungan sekolah yang mendukung tumbuhnya murid-murid yang mampu menjadi pemimpin dalam proses pembelajarannya sendiri.

3.    CGP menerapkan konsep kepemimpinan murid pada program atau kegiatan sekolah.

 

Capaian Khusus Modul 3.3:

Secara khusus, setelah mempelajari modul ini diharapkan Calon Guru Penggerak mampu:

1.    menunjukkan pemahaman tentang konsep kepemimpinan murid dan kaitannya dengan Profil Pelajar Pancasila.

2.    menunjukkan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid.

3.    menganalisis sejauh mana suara, pilihan dan kepemilikan murid dipertimbangkan dalam program intrakurikuler/kokurikuler/ekstrakurikuler sekolah untuk mewujudkan lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.

4.    mengidentifikasi strategi pelibatan komunitas dalam program sekolah untuk mendukung tumbuhnya kepemimpinan murid.

5.    merancang sebuah prakarsa perubahan di sekolah dalam bentuk sebuah program/kegiatan sekolah yang mendorong kepemimpinan murid dengan menggunakan model prakarsa perubahan yang di sebut dengan BAGJA.

 

Isi Materi Modul:

1.   Kepemimpinan murid:

a.    Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan murid

b.    Suara murid, Pilihan murid, Kepemilikan murid

c.     Kepemimpinan murid dan kaitannya dengan Profil Pelajar Pancasila

2.    Lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.

3.    Pelibatan komunitas dalam program sekolah untuk mendukung tumbuhnya kepemimpinan murid.

4.    Program atau kegiatan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.

 

Kepemimpinan Murid

1. Apakah kepemimpinan murid ?

Dari paket modul 1 dan 2 sebelumnya, Ibu/Bapak telah belajar bahwa murid harus menjadi dasar bagi semua pengambilan keputusan yang kita buat di sekolah. Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid, kita harus secara sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran murid sehingga mampu memekarkan mereka sesuai dengan kodratnya.

 

Dengan demikian, saat kita merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau  ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana kita dapat menempatkan murid  dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan program/kegiatan  pembelajaran tersebut?

 

Kita semua tentu sepakat bahwa murid-murid kita dapat melakukan lebih dari  sekedar menerima instruksi dari guru. Mereka secara alami adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin tahu atau minat terhadap berbagai hal. Lewat rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri.

 

Namun, pernahkah Ibu/Bapak melakukan refleksi dan kemudian menyadari bahwa terkadang, guru atau orang dewasa sering memperlakukan murid-murid seolah-olah mereka tidak mampu membuat keputusan, pilihan, atau memberikan pendapat terkait dengan proses belajar mereka. Kadang-kadang kita bahkan tanpa sadar membiarkan murid-murid kita secara sengaja menjadi tidak berdaya, dengan secara sepihak memutuskan semua yang harus murid pelajari dan bagaimana mereka mempelajarinya, tanpa melibatkan peran serta mereka dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

 

Agar kita dapat menjadikan murid sebagai pemimpin bagi proses pembelajarannya sendiri, maka kita perlu memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan kapasitasnya dalam mengelola pembelajaran mereka sendiri, sehingga potensi kepemimpinannya dapat berkembang dengan baik. Peran kita adalah:

1. Mendampingi murid agar pengembangan potensi kepemimpinan mereka tetap sesuai dengan kodrat, konteks dan kebutuhannya.

2. Mengurangi kontrol kita terhadap mereka. Saat murid memiliki kontrol atas apa yang terjadi, atau merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi sebuah situasi inilah, maka murid akan memiliki apa yang disebut dengan “agency”.

 

Agency dapat diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk mempengaruhi fungsi dirinya dan arah jalannya peristiwa melalui tindakan-tindakan yang dibuatnya. Albert Bandura dalam artikelnya, Toward a Psychology of Human Agency (2006) mengatakan, bahwa menjadi seorang agent (seseorang yang memiliki agency) berarti orang tersebut secara sengaja mempengaruhi fungsi dan keadaan hidup dirinya.

 

Dalam pandangan ini, pengaruh pribadi merupakan bagian dari struktur kausal. Orang-orang sebenarnya dapat mengatur diri sendiri, bersikap proaktif, meregulasi diri sendiri, dan merefleksikan diri. Mereka bukan hanya dapat menjadi penonton dari perilaku mereka sendiri, tetapi adalah kontributor untuk keadaan hidup mereka sendiri.

Lebih lanjut, dalam artikel yang sama Bandura juga mengatakan bahwa ada empat sifat inti dari human agency, yang dalam modul ini kita singkat dengan akronim IVAR untuk memudahkan mengingat, yaitu:

 

1. I - Intensi = Kesengajaan (intentionality). Seseorang yang memiliki agency bukan hanya memiliki sekedar niat, tetapi di dalam niat mereka sudah termasuk rencana tindakan dan strategi untuk mewujudkannya. Orang yang memiliki agency akan memahami bahwa dalam mewujudkan niatnya, ia juga harus mempertimbangkan keinginan pihak lain, sehingga berupaya untuk menemukan niatan bersama dan mengelola kesaling-tergantungan rencana.

 

2. V - Visi = Pemikiran ke depan (forethought). Pemikiran ke depan di sini bukan hanya sekedar rencana yang mengarahkan masa depan. Mereka yang berpikiran ke depan menjadikan visi (representasi kognitif dari visualisasi masa depan) sebagai pemandu dan memotivasi tindakan-tindakan mereka saat ini. Hal ini membuat mereka menjadi individu yang bersemangat dan bertujuan.

 

3. A - Aksi = Kereaktifan-diri (self-reactiveness). Seseorang yang memiliki agency, bukan hanya seorang perencana dan pemikir ke depan. Mereka juga seorang pengendali diri (self-regulator). Setelah memiliki niat dan rencana, ia tidak akan duduk diam dan menunggu. Mereka memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi aksi atau tindakan yang tepat dan untuk memotivasi serta mengatur eksekusinya.

 

4. R - Refleksi = Kereflektifan-diri (self-reflectiveness). Seseorang yang memiliki agency akan memiliki kesadaran yang baik akan fungsi dirinya. Mereka akan melakukan refleksi terhadap efikasi dirinya, kecemerlangan dan ketepatan pikiran dan tindakannya, dan kebermaknaan dari upaya yang mereka lakukan dalam pencapaian tujuan, serta akan melakukan perbaikan jika diperlukan. Kemampuan metakognitif untuk melakukan refleksi diri sendiri dan kecukupan pemikiran dan tindakan seseorang adalah sifat yang paling jelas dari orang yang memiliki agency.

 

Murid mendemonstrasikan “student agency” ketika mereka mampu mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan rasa ingin tahu, berpartisipasi dan berkontribusi pada komunitas belajar, mengkomunikasikan pemahaman mereka kepada orang lain, dan melakukan tindakan nyata sebagai hasil proses belajarnya.

 

Mengingat bahwa kata agency ini belum ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, maka untuk kepentingan pembahasan di dalam modul ini, maka istilah student agency ini selanjutnya akan diterjemahkan sebagai “kepemimpinan murid”.

 

Jika kita mengacu pada OECD (2019:5), ‘kepemimpinan murid’ berkaitan dengan pengembangan identitas dan rasa memiliki. Ketika murid mengembangkan agency,mereka mengandalkan motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset (pemahaman bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi diri mereka menuju kesejahteraan lahir batin (wellbeing).

 

Hal inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk bertindak dengan memiliki tujuan, yang membimbing mereka untuk berkembang di masyarakat. Konsep kepemimpinan murid sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.

 

Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan. Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif, dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain.

 

Ketika murid menunjukkan agency dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara alamiah mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar).

 

Keterampilan belajar ini adalah sebuah keterampilan yang sangat penting, yang dapat dan akan mereka gunakan sepanjang hidup mereka dan bukan hanya untuk saat ini.

 

Saat murid menjadi pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran mereka sendiri, maka hubungan yang tercipta antara guru dengan murid akan mengalami perubahan, karena hubungannya akan menjadi bersifat kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat kemitraan ini, saat murid belajar mereka akan:

- berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran yang ingin dicapainya

- menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran

- menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran

- menunjukkan rasa ingin tahu

- menunjukkan inisiatif

- membuat pilihan-pilihan tindakan

- memberikan umpan balik kepada satu sama lain.

Di sisi lain, guru yang akan mengambil peranan sebagai mitra murid dalam belajar akan:

- berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati, dan menanggapi ide[1]ide, pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif murid-murid mereka

- memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid mereka untuk memastikan proses pembelajaran sesuai untuk mereka

- mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka dengan memberi mereka tugas-tugas terbuka

- menawarkan kesempatan kepada murid untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil risiko

- mempertimbangkan sejauh mana tingkat bantuan yang harus diberikan kepada murid berdasarkan informasi yang mereka miliki

- menunjukkan minat dan keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap aktivitas murid untuk memperluas pemikiran mereka.

Untuk lebih memahami konsep kepemimpinan murid, Ibu/Bapak dapat membaca tabel berikut ini.

 

Kepemimpinan Murid adalah….

Kepemimpinan Murid bukan..

sesuatu yang dapat kita dorong

sesuatu yang bisa kita ‘berikan’ atau ‘ambil’ dari murid

murid mengambil kepemilikan dan tanggung jawab atas proses pembelajaran mereka sendiri.

berarti bebas sepenuhnya bagi murid karena murid tetap membutuhkan bimbingan guru. Terkadang terlalu banyak pilihan dapat menjadi kontraproduktif dan bukannya menginspirasi.

murid memiliki suara dan pilihan atas apa yang akan mereka pelajari, bagaimana mereka belajar dan mengorganisir pembelajaran mereka.

berarti tidak ada akuntabilitas murid. Murid tetap harus menunjukkan penguasaan pengetahuan, konsep, dan keterampilan.

murid dapat memilih arah dan cara mencapai tujuan pembelajaran sendiri.

berarti mengganti peran guru. Murid justru memerlukan umpan balik, negosiasi, beradu argumen, tuntunan, coaching dari gurunya di sepanjang proses pembelajaran.

 

 

2. Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid

Saat murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri (atau kita katakan: saat murid memiliki agency, maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran mereka. Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid kemudian mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya sendiri.

 

Tugas kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka.

Lalu, Apa sebenarnya yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid?  Mari kita bahas satu persatu ketiga aspek tersebut

1. Suara (voice)

Ketika kita berbicara tentang “suara” murid, maka kita sebenarnya bukan hanya berbicara tentang memberi murid kesempatan untuk mengomunikasikan ide dan pendapat. Voice (suara) adalah pandangan, perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui partisipasi aktif mereka di kelas, sekolah, komunitas, dan sistem pendidikan mereka, yang berkontribusi pada proses pengambilan keputusan dan secara kolektif mempengaruhi hasilnya. (www.education.vic.gov.au)

Mempertimbangkan suara murid adalah tentang bagaimana kita memberdayakan murid kita agar memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan. Suara murid yang otentik memberikan kesempatan bagi murid untuk berkolaborasi dan membuat keputusan dengan orang dewasa seputar apa dan bagaimana mereka belajar dan bagaimana pembelajaran mereka dinilai.

 

Mempromosikan suara murid dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam banyak cara. Suara murid dapat ditumbuhkan melalui diskusi, membuka ruang ekspresi kreatif, memberi pendapat, merelevansikan pembelajaran secara pribadi, dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana sekolah atau guru dapat mempromosikan “suara murid”:

a. Membangun budaya saling mendengarkan.

b. Membangun kepercayaan diri murid agar mereka percaya bahwa setiap suara berharga dan layak didengar.

c. Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap proses belajar

yang telah dilakukan.

d. Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap berbagai

program dan kebijakan-kebijakan sekolah.

e. Melibatkan murid dalam perencanaan pembelajaran.

f. Melibatkan murid dalam menyusun kriteria penilaian.

g. Memberikan kesempatan murid untuk bertanya, memberikan pendapat, berdiskusi dalam berbagai kesempatan dan proses pembelajaran.

h. Mengajak murid untuk mendiskusikan keyakinan kelas dan membuat kesepakatan kelas.

i. Membentuk dewan murid atau komite-komite yang anggotanya adalah murid-murid untuk memberikan masukan kepada sekolah terhadap berbagai elemen sekolah lainnya (misalnya lingkungan, fasilitas, kegiatan, kantin, seragam).

j. Melibatkan murid untuk memberikan saran tentang alat permainan apa yang mereka inginkan ada di halaman sekolah.

k. Memberikan kesempatan murid untuk memberi saran terkait menu yang di jual kantin.

l. Membuat kotak saran untuk murid memberikan saran dan masukan tentang sekolah.

m. Melakukan kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Mengidentifikasi masalah atau persoalan yang terjadi dalam dunia nyata yang menarik bagi murid dan kemudian memberi kesempatan mereka untuk bekerja sama dan bertukar pikiran tentang strategi dan solusi untuk permasalahan tersebut.

n. Membuat blog murid dan majalah dinding untuk menyuarakan aspirasi dan kreativitas murid.

Yang disebutkan di atas hanyalah contoh-contoh. Dapatkah Ibu/Bapak

menyebutkan contoh lainnya?

 

2. Pilihan (Choice)

Pilihan (choice) adalah peluang yang diberikan kepada murid untuk memilih kesempatan-kesempatan dalam ranah sosial, lingkungan, dan pembelajaran. (marzanoacademies.org).

 

Dalam ranah sosial, murid dapat diberikan kesempatan untuk berada dalam kelompok yang sesuai dengan tujuan atau minatnya; dalam ranah lingkungan, murid dapat diberikan kesempatan untuk memilih ataumengatur tempat belajar yang sesuai untuk mereka.

 

Dalam ranah lingkungan, murid diberikan kesempatan untuk memilih lingkungan belajar yang paling mendukung untuk mereka belajar secara maksimal. Sementara dalam ranah pembelajaran, murid diberikan pilihan-pilihan untuk mengakses, berlatih, atau membuktikan penguasaan pengetahuan atau keterampilan dalam kurikulum.

Aiken et al (2016) dalam Thibodeaux et al. (2019), menyimpulkan bahwa memberi pilihan akan memberdayakan murid, mendorong keterlibatan, dan mempromosikan minat dalam pengalaman belajar. Selain itu, memberi peserta didik pilihan dan kepemilikan mensyaratkan bahwa kontrol dalam proses pembelajaran harus diberikan juga kepada murid-murid (Thibodeaux 2017; 2019).

 

Bandura (1997) juga menegaskan bahwa memberikan murid pilihan juga akan meningkatkan motivasi dan otonomi murid, yang dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid (dalam Thibodeaux et al, 2019).

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana guru dapat memberikan murid-murid ‘pilihan’ dalam proses belajar mereka? Ada banyak cara yang dapat dilakukan. Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana guru dapat mendorong dan menyediakan “pilihan” bagi murid-muridnya.

a. Membuka cakrawala murid bahwa ada berbagai pilihan atau alternatif yang dapat dijadikan bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah keputusan.

b. Memberikan kesempatan bagi murid untuk memilih bagaimana mereka  mendemonstrasikan pemahamannya tentang apa yang telah mereka pelajari.

c. Memberikan kesempatan pada murid untuk memilih peran yang dapat mereka ambil dalam sebuah kegiatan/program.

 

d. Memberikan murid kesempatan untuk memilih kelompok.

e. Memberikan kesempatan murid untuk mengelola pengaturan kegiatan.

f. Menggunakan musyawarah untuk mengambil keputusan, atau jika memang diperlukan melalui voting, untuk memprioritaskan langkah tindakan atau aktivitas berikutnya. Misalnya saat ingin belajar tentang topik tertentu, guru dapat mendiskusikan dan membuat daftar kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan, kemudian meminta murid untuk memilih mana yang ingin mereka lakukan lebih dulu.

 

g. Mengajak OSIS membuat daftar kegiatan (event), dan memberikan kesempatan untuk memilih mana kegiatan yang ingin mereka lakukan di dalam satu tahun ajaran.

h. Memberi kesempatan pada murid untuk menentukan sendiri bentuk penugasan yang mereka inginkan.

i. Memberikan kesempatan pada murid untuk mempresentasikan hasil kerja/proyek sesuai dengan gaya , minat dan bakat mereka

 

j. Memberikan kesempatan pada murid untuk menggali sumber-sumber belajar sesuai minat mereka.

k. memberikan kesempatan pada murid untuk mengevaluasi pembelajarannya.

l. memberikan kesempatan pada murid untuk menentukan rencana, jadwal atau agenda dalam melaksanakan pembelajarannya.

Ada banyak lagi contoh lainnya. Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh  lainnya?

 

3. Kepemilikan (ownership)

Dalam pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa saat murid berada dalam kursi kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajarnya.

 

Menurut Duddley-Marling dan Searle yang dikutip oleh Rainer dan Mona dalam artikel yang berjudul Ownership of Learning in Teacher Education (2002:27) bahwa kepemilikan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan, melainkan sesuatu yang berkembang dalam struktur dan proses yang menyiratkan rasa hormat terhadap otonomi, kekuasaan, suara, dan tanggung jawab kepada orang lain.

Dengan demikian kondisi-kondisi, struktur, dan proses perlu dikembangkan agar guru mampu menciptakan proses pembelajaran yang mendorong murid memiliki rasa kepemilikan. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah:

 

- Memberikan murid kesempatan untuk memilih beberapa kegiatan yang mereka lakukan (misalnya memilih topik untuk dilaporkan).

- Memberikan kesempatan murid berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum (misalnya, memutuskan apa yang ingin mereka pelajari).

- Memberikan murid kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam kelas.

 

- Memberikan murid kesempatan untuk menilai diri sendiri dan terlibat dalam proses penilaian (misalnya, melibatkan murid dalam mendiskusikan kriteria rubrik proyek yang baik).

 

Voltz DL, Damiano-Lantz M. dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing Ownership in Learning. Teaching Exceptional Children (1993;18) menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar (ownership in learning) sebenarnya mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan investasi pribadi seseorang dalam proses belajar.

 

Merujuk pada pendapat tentang konsep kepemilikan, dapat dikatakan bahwa, saat murid terhubung (baik secara fisik, kognitif, emosional) dengan apa yang sedang dipelajari, terlibat aktif, dan menunjukkan investasi pribadi dalam proses belajarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka terhadap proses belajar tinggi.

 

Berikut ini adalah beberapa contoh mempromosikan “kepemilikan murid”:

- Merespon dan menindaklanjuti masukan dan umpan balik dari murid.

- Meminta pendapat murid untuk menentukan bentuk penugasan.

- menciptakan lingkungan belajar di mana murid dapat menetapkan tujuan belajar dan kriteria keberhasilan mereka sendiri, dan memantau dan menyesuaikan pembelajaran mereka.

- Secara terus menerus tunjukkan kepada murid bagaimana mereka dapat menjadi pembelajar yang lebih baik dari hari ke hari, misalnya dengan belajar untuk menerima kesalahan. Berbagilah dengan murid-murid kita bagaimana terkadang kita membuat kesalahan dan bagaimana kita kemudian belajar dari kesalahan tersebut. Dengan cara ini, murid akan selalu merasa diterima. tidak dituntut sempurna, sehingga merasa nyaman dalam proses pembelajarannya.

 

- Menanyakan kepada murid apa yang mereka ketahui tentang topik yang akan dipelajari atau mendiskusikan pengalaman murid tentang topik tersebut, dan mengkoneksikannya dengan pembelajaran yang akan dilakukan.

- Memosting ide siswa (dengan seizin murid sebagai bagian dari menghargai dan menghormati kepemilikan murid ).

 

- Mengajak murid mengatur layout kelas mereka sendiri.

- Mengkondisikan lingkungan fisik yang mendukung kepemilikan. Misalnya membuat papan buletin, yang dapat digunakan murid untuk menampilkan informasi tentang pekerjaan mereka, kesuksesan mereka, dsb.

- Mengajak murid untuk mengatur kelas mereka sendiri.

- Memajang pekerjaan-pekerjaan murid di kelas.

- Melakukan penilaian diri sendiri (self assessment).

- Membuat sudut murid di salah satu bagian sekolah, kemudian memberikan jadwal untuk setiap kelas untuk melakukan sesuatu di sudut tersebut.

 

- Memberi kesempatan murid membawa sumber-sumber pembelajaran yang mungkin mereka miliki dan meminta mereka berbagi.

Ada banyak contoh lainnya. Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh lainnya?

Untuk menumbuhkan kepemimpinan murid dalam proses belajar, ketiga aspek tersebut tentunya perlu didorong oleh guru. Pilihan dan suara murid menjadi penting agar murid mempunyai rasa ‘memiliki’ proses pembelajaran mereka sendiri. Di sisi lain, melalui pilihan dan dengan rasa memiliki yang kuat, suara mereka kemudian dapat diwujudkan.

Perlu diperhatikan bahwa ketiga aspek ini tidak dapat berada di lingkungan yang tidak terstruktur. Ketiga aspek ini harus disematkan dengan hati-hati dalam lingkungan belajar yang menumbuhkembangkan elemen-elemen tersebut secara otentik. Lingkungan belajar yang seperti ini akan mensyaratkan seluruh anggota komunitas untuk ikut terlibat dalam prosesnya.

 

3. Kepemimpinan Murid dan Profil Pelajar Pancasila

Di dalam modul 1.2, Ibu/Bapak sudah belajar bahwa Profil Pelajar Pancasila sebenarnya adalah visi dan harapan Indonesia untuk karakter warganya di masa mendatang, sehingga seharusnya menjadi landasan bagi visi sekolah. Upaya menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan menyediakan kesempatan

bagi murid untuk mengembangkan profil positif dirinya, yang kemudian diharapkan

dapat mewujud sebagai pengejawantahan profil pelajar Pancasila dalam dirinya.

Jika kita telaah lebih lanjut, dengan menumbuhkembangkan kepemimpinan murid maka secara bersamaan kita sebenarnya juga sedang membangun karakter murid yang

 


- beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan mendorong murid untuk mengamalkan nilai-nilai agama dan kepercayaannya dalam bentuk sikap[1]sikap dan tindakan atau perilaku positif. Murid-murid yang memiliki kepemimpinan yang kuat, akan menunjukkan akhlak yang baik terhadap dirinya pribadi, terhadap sesama, negara dan alam ciptaanNya.

Mengapa? Ini karena mereka akan tumbuh menjadi murid yang merdeka, yang bukan hanya tidak terperintah saja, namun juga dapat menegakkan diri, serta mengatur kehidupan dirinya sendiri, hubungannya dengan orang lain. dan lingkungan dengan baik. Mereka akan mampu menjunjung nilai-nilai kebajikan universal, seperti cinta kasih sesama manusia, kejujuran, dan sebagainya.

 

- berkebinekaan global.

Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan melatih murid-murid kita untuk memiliki pemikiran dan wawasan yang luas dan terbuka. Mereka akan terbiasa untuk melihat perbedaan, menghargai beragam perspektif sehingga diharapkan dapat hidup ditengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Mereka akan mampu beradaptasi dengan situasi dan perubahan yang dihadapinya, dan mampu menjadi pemecah masalah yang percaya diri dimanapun ia berada.

 

- bergotong royong.

Mendorong kepemimpinan murid akan melatih murid untuk terlibat dan berinteraksi dengan orang lain, bekerjasama dan berkontribusi dalam masyarakat yang lebih luas. Lewat interaksi ini, mereka akan memiliki keinginan untuk membantu orang lain yang membutuhkan, dan mampu berkolaborasi untuk melakukan tindakan demi kebermanfaatan dan kebahagiaan bersama.

 

- mandiri.

Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid mendorong murid untuk mengambil kontrol dan bertanggung jawab pada proses pembelajarannya sendiri. Saat kita mendorong kepemimpinan murid, maka kita juga melatih kemampuan mereka untuk meregulasi diri sendiri. Mereka akan dapat menetapkan tujuan dan rencana strategis bagi pengembangan dirinya sendiri sekaligus mampu menunjukkan resiliensi dan kemampuan beradaptasi yang baik dalam berbagai situasi, serta percaya diri bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

 

- bernalar kritis.

Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan mendorong murid untuk memiliki kemampuan bernalar kritis karena mereka akan belajar untuk membuat pilihan-pilihan dan membuat keputusan-keputusan yang bertanggung jawab. Mereka juga akan berlatih untuk mengembangkan keterampilan refleksi terhadap proses pembelajaran dan belajar dari berbagai situasi yang terjadi lewat interaksi mereka dengan komunitas yang lebih luas.

 

- kreatif.

Menumbuhkembangkan kepemimpinan murid memungkinkan murid untuk terekspos pada pengalaman belajar otentik yang menuntut mereka untuk mampu melihat permasalahan dan secara kreatif berusaha mencari solusi atas permasalahan tersebut. Mendorong murid untuk bersuara berarti juga membuka ruang bagi sikap berani mengambil risiko, sehingga murid tidak takut untuk mengungkapkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran kreatif mereka.

 

Untuk lebih memperdalam pemahaman Ibu/Bapak terkait dengan elemen suara, pilihan, dan kepemilikan, serta kaitan antara kepemimpinan murid dengan Profil Pelajar Pancasila, silahkan Ibu/Bapak lihat beberapa contoh program atau kegiatan sekolah yang disajikan dalam narasi situasi dan video berikut ini. Setelah membaca dan menonton, Ibu/Bapak akan kami minta untuk melakukan refleksi.

 

Situasi 1.

TK Cahaya memiliki sedikit lahan di samping halaman bermain sekolah yang belum dimanfaatkan. Saat ini, lahan tersebut bukan hanya terlantar namun juga memberikan pemandangan yang kurang apik karena menjadi tempat tumpukan barang-barang yang tidak terpakai. Pak Segar, guru TK B sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Saat ia mengawasi dan mengamati murid-muridnya istirahat bermain, Pak Segar lalu mengajak beberapa murid-muridnya bercakap-cakap. Ia meminta ide dari murid-muridnya untuk mengetahui sebaiknya lahan yang luasnya terbatas tersebut digunakan untuk apa.

 

Ia menanyakan apa saja yang mereka inginkan ada di halaman bermain sekolah mereka. Saat itu, murid-muridmemberikan banyak sekali pendapat. Namun, di antara pendapat-pendapat yang diberikan oleh murid, ada salah satunya yang sangat menarik. Murid itu mengatakan bahwa ia ingin

ada kebun di sekolah di mana ia nanti bisa menanam biji jeruk yang dimakannya. Pak Segar merasa ide murid tersebut sangat mungkin untuk diwujudkan dengan anggaran yang terbatas. Di kelas, Pak Segar lalu mengajak murid-murid untuk mendiskusikan lebih lanjut ide tersebut.

 

Ternyata ide tersebut juga didukung oleh murid-murid yang lain. Ia lalu meminta murid-muridnya untuk menggambarkan seperti apa kebun impian mereka. Ia juga menanyakan jenis-jenis tanaman apa yang mereka ingin ada di kebun tersebut. Dari hasil diskusi, Pak Segar tidak hanya mendapatkan ide tentang kebun seperti apa yang diinginkan oleh anak-anak, namun, anak-anak ternyata juga dapat mengusulkan bagaimana mereka dapat membantu mewujudkan kebun tersebut.

 

Ada murid yang mengatakan akan membawa biji pepaya yang biasa ia makan di rumah untuk di tanam di kebun itu. Ide ini kemudian diikuti oleh anak-anak lain yang juga ingin membawa potongan jenis-jenis sayuran yang dapat ditanam kembali dari sisa potongan sayuran yang mereka konsumsi di rumah. Dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan Pak Segar, anak-anak bahkan dapat memberikan gagasan bagaimana kebun ini bisa dirawat bersama oleh murid-murid. Seorang murid, yang ayahnya adalah petani bahkan akhirnya menawarkan akan mengajak ayahnya untuk membantu menyiapkan lahan tersebut supaya siap untuk ditanami, karena ia sering melihat ayahnya melakukan hal tersebut.

 

Pak Segar lalu membawa ide murid-murid ini kepada kepala sekolah. Kepala Sekolah sangat mendukung ide tersebut dan meminta Pak Segar untuk mendiskusikan lebih lanjut ide ini dengan guru-guru kelas lain. Setelah dimatangkan, ide yang awalnya berasal dari usulan murid-murid tersebut akhirnya mewujud menjadi sebuah program yang kemudian disebut dengan “Program Kebun Cahaya”. Setiap kelas di TK Cahaya kini memiliki kavling kecil di lahan yang tadinya terlantar tersebut dan secara bersama bertanggung jawab untuk merawatnya.

 

Situasi 2

Bu Ara mengajar di Kelas 1 SD. Di awal tahun ajaran baru ia ingin melibatkan murid[1]muridnya mengatur sendiri ruang kelas mereka. Bu Ara ingin murid-muridnya memiliki rasa kepemilikan terhadap kelas mereka sehingga mereka akan secara sadar menjaga dan memelihara kelasnya dengan baik.

 

Ia kemudian meminta murid[1]muridnya untuk bekerja kelompok merancang layout kelas. Setiap kelompok diberikan selembar kertas dan mendiskusikan lalu memutuskan di mana mereka akan meletakkan loker, kursi, meja, tempat sampah, keranjang buku, lemari buku, meja guru, dsbnya. Karena murid-murid kelas 1 belum semuanya bisa menulis, maka mereka boleh menggambar.

 

Setelah itu setiap kelompok akan menjelaskan layout kelas kelompok mereka di depan kelas. Murid-murid lain dapat memberikan pertanyaan tentang layout tersebut. Setelah semua kelompok melakukan presentasi, mereka kemudian harus memutuskan layout mana yang akan dipilih untuk diimplementasikan. Setelah dilakukan pemilihan, terpilihlah satu layout yang paling ingin diimplementasikan oleh murid-murid di kelas tersebut.

 

Namun, Ibu Ara lalu menyadari bahwa layout pilihan tersebut menurut kacamata dia sebagai guru sepertinya adalah layout yang “paling sulit untuk dilakukan dan paling tidak efektif”. Namun karena itu yang paling banyak dipilih, Ibu Ara ingin sekali mewujudkan desain itu untuk menghargai pilihan murid. Ibu Ara sangat galau, karena ia tahu, kalau ia mewujudkan desain tersebut, kelasnya akan menjadi tidak rapi dan berantakan. 

Orang tua murid dan kepala sekolah juga pasti akan mempertanyakan. Ibu Ara pun akhirnya memutuskan untuk berbicara langsung kepada kepala sekolah. Di luar dugaan, kepala sekolah sangat mengapresiasi upaya bu Ara menghargai pilihan murid-muridnya. Lewat proses diskusi dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh kepala sekolah, Ibu Ara akhirnya memutuskan untuk tetap mewujudkan layout tersebut dan akan mengevaluasinya setelah beberapa hari diimplementasikan. 

Proses evaluasi ini akan menjadi sebuah proses pembelajaran yang berharga buat murid. Setelah beberapa hari mengimplementasikan layout pilihan murid tersebut, Ibu Ara pun lalu mengajak murid-muridnya berefleksi dan menanyakan apakah menurut mereka, layout ini membantu mereka untuk belajar, bergerak dan berinteraksi dengan baik di kelas. Bu Ara memberikan pertanyaan[1]pertanyaan reflektif untuk membantu siswa berefleksi. 

Ternyata murid-murid Ibu Ara juga merasa bahwa layout tersebut tidak efektif. Ada yang bilang tempat sampahnya ternyata kejauhan. Atau ternyata letak lemari bukunya menghalangi orang untuk melihat ke luar jendela. Setelah melakukan refleksi, Ibu Ara lalu mengajak murid-muridnya untuk memberikan saran bagaimana agar layout kelas mereka bisa lebih efektif. Berdasarkan masukan murid-murid, di minggu berikan layout kelas mereka pun diubah sesuai dengan hasil refleksi, sehingga menjadi lebih efektif.

 

Situasi 3

SMP Matahari setiap tahun memiliki program yang disebut “study wisata” untuk murid[1]muridnya di Kelas IX. Biasanya, kegiatan ini dirancang oleh guru di awal tahun ajaran dan dilaksanakan di akhir tahun ajaran. Walaupun kegiatan ini adalah kegiatan tahunan yang selalu dinanti-nantikan oleh murid-murid Kelas IX, namun sejak tahun lalu Pak Atap, salah satu guru kelas IX SMP Matahari merasa kegiatan ini akhirnya hanya menjadi kegiatan wisata rutin, yang lebih bersifat perayaan dan bersenang[1]senang. Murid-murid memang tampak senang, namun Pak Atap merasa bahwa murid-murid seharusnya dapat belajar lebih banyak lagi dari kegiatan study wisata ini.

 

Di awal semester, Pak Atap menyatakan kegelisahanya ini kepada kepala sekolah yang kemudian menyarankannya untuk membuat komite ad hoc yang disebut dengan Komite Studi Wisata Kelas 9, yang anggotanya adalah perwakilan guru dan murid. Pak Atap lalu mengajak 2 orang perwakilan guru dan 6 orang perwakilan murid dari masing-masing Kelas untuk menjadi anggota komite studi wisatatersebut (ada 3 kelas IX di SMP Matahari dan masing-masing kelas diwakili 2 orang). Karena pelaksanaan studi wisata ini masih lama waktunya, komite ini sepakat bertemu setiap bulan sekali untuk mendiskusikan semua elemen yang terkait pelaksanaan studi wisata dan akan bertemu seminggu sekali sebulan sebelum pelaksanaan program tersebut.

 

Di awal pertemuan komite, Pak Atap menanyakan kepada murid-murid anggota komite tersebut, sejauh ini, pengetahuan dan keterampilan apa saja yang telah mereka pelajari selama di Kelas 9? Pak Atap juga menjelaskan bahwa sebenarnya tujuan dari kegiatan studi wisata tersebut salah satunya adalah untuk membantu mereka memperdalam pengetahuan dan memperkuat berbagai keterampilan yang telah mereka pelajari tersebut.

 

Pak Atap lalu menanyakan kepada murid-murid, apa lagi sebenarnya keuntungan dari kegiatan studi wisata ini untuk mereka. Setelah menjelaskan tujuan kegiatan studi wisata, Pak Atap lalu menanyakan destinasi seperti apa yang menarik buat mereka, yang dapat membantu murid mencapai tujuan yang diharapkan dari studi wisata tersebut. Pak Atap menjelaskan kriteria destinasi wisata yang aman dan memungkinkan untuk dikunjungi dan juga menjelaskan tentang kemungkinan keterbatasan anggaran, agar murid-murid lebih mindful saat memilih destinasi ini. Murid-murid anggota komite ini kemudian memutuskan melakukan riset dan juga meminta pendapat teman-teman kelasnya.

 

Melalui proses ini, Pak Atap jadi mengetahui tentang apa yang disukai oleh murid[1]murid kelas 9 ini. Setelah diberi waktu melakukan riset, perwakilan murid ini menyortir 3 pilihan destinasi yang menurut kelas mereka sesuai dengan kriteria. Secara bersama-sama. anggota komite lalu mendiskusikan pilihan-pilihan destinasi ini.

 

Mereka menggunakan checklist yang mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Destinasi yang memenuhi semua kriteria pun akhirnya yang dipilih. Murid perwakilan komite ini kemudian membawa destinasi pilihan ini kepada kepala sekolah. Kepala sekolah lalu meminta komite untuk mempresentasikan ide ini kepada para orang tua Kelas 9. Setelah mendapatkan persetujuan dan masukan dari para orang tua, Komite Studi

Wisata inipun lalu mulai melakukan persiapan secara matang. Murid-murid dalam komite ini memberikan gagasan tentang apa saja kegiatan yang akan menarik untuk dilakukan, siapa yang akan memimpin kegiatan, apa yang akan dilakukan saat perjalanan, dsb.

 

Guru-guru dalam komite memberikan pandangan dan perspektif tentang keamanan, risiko, tantangan yang mungkin akan dihadapi, atau memberikan saran saat murid merasa bahwa sebuah ide kelihatannya sulit untuk diwujudkan. Proses diskusi tentang studi wisata ini menjadi sangat kolaboratif. Setelah pelaksanaan Studi Wisata, sebelum komite ini dibubarkan, komite ini juga bertemu lagi untuk kemudian melakukan refleksi terhadap pelaksanaannya dan memberikan saran perbaikan. Saran perbaikan ini akan menjadi dasar untuk diskusi awal oleh komite Studi Wisata yang baru di tahun ajaran yang akan datang.

 

Situasi 4

Dalam masa pandemi ini, Pak Bahri, seorang kepala sekolah SMA merasa galau karena sudah selama 1 tahun ajaran, semua kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya harus dihentikan. Ia merasa murid-muridnya masih perlu melakukan berbagai kegiatan yang dapat mengasah minat dan bakatnya, meskipun di masa pandemi.

 

Namun ia bingung, dengan segala keterbatasan di masa pandemi ini, kira-kira kegiatan apa yang menarik minat murid dan masih memungkinkan untuk dapat dilakukan secara daring. Ia kemudian mengajak murid-murid yang menjadi anggota OSIS untuk bertemu secara daring. Setelah menanyakan kabar, perasaan, dan umpan balik mereka tentang kegiatan pembelajaran daring yang selama ini dilakukan, barulah Pak Bahri kemudian menyampaikan kegalauannya. Ia tanyakan apakah murid-murid merasakan kegalauan yang sama dengannya. Dari pertemuan tersebut, ia mengetahui ternyata murid-murid juga merasakan kegalauan yang sama. Ia lalu menanyakan apakah anak-anak memiliki saran atau gagasan, bagaimana mereka dapat tetap mengadakan kegiatan ekstrakurikuler, walaupun secara daring, dan apa saja kegiatan-kegiatan yang sekiranya menarik minat murid[1]murid.

 

Ternyata, murid-murid memiliki banyak sekali gagasan yang luar biasa tentang ragam aktivitas yang dapat dilakukan. Namun, ada beberapa kegiatan yang disarankan yang sepertinya sulit untuk dilakukan, karena Pak Bahri merasa bahwa tidak ada guru yang memiliki keahlian untuk dapat mengajarkan kegiatan tersebut. Pak Bahri pun menyampaikan kesulitan tersebut kepada para anggota OSIS. Ternyata, murid-murid malah memberikan ide untuk meminta agar murid saja yang mengajar kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Mereka rupanya mengetahui ada salah satu teman mereka yang “ahli’ melakukan hal tersebut. Mereka mengatakan, guru cukup mensupervisi kegiatannya saja, tetapi murid yang memang memiliki keahlian tersebutlah yang akan mengajarkan teknik-tekniknya.

 

Mereka juga bahkan mengajukan diri untuk membantu membujuk anak tersebut agar bersedia menjadi ‘guru’ untuk kegiatan ekstra kurikuler tersebut. Akhirnya, atas kesepakatan bersama, mereka memutuskan untuk melakukan beberapa kegiatan ekstrakurikuler. Ada kegiatan yang diajar oleh guru, dan untuk beberapa kegiatan yang tidak dapat diajarkan oleh guru, diajarkan oleh murid-murid dengan supervisi guru. Mereka lalu mendiskusikan jadwal, sumberdaya yang diperlukan, dan pengorganisasiannya.

 

Dibantu oleh OSIS akhirnya kegiatan tersebut dipromosikan dan ternyata, animo murid untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler tersebut sangat besar. Pak Bahri pun merasa senang.

Situasi 5

Dalam satu kesempatan, sebuah SMK menjalankan pembelajaran terintegrasi berbasis proyek. Mata pelajaran normatif yang terkait adalah Bahasa Indonesia (BI), Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai mata pelajaran adaptif, dan mata pelajaran Teknologi Pakan Ternak (TPK) sebagai mata pelajaran produktif.

 

Guru pelajaran TPK menantang murid untuk mengidentifikasi potensi pakan ternak organik dari lingkungan dan masyarakat sekitar berikut permasalahannya, kemudian menawarkan solusi untuk mengembangkannya. Tawaran solusi akan dipaparkan melalui presentasi yang secara teknis akan dinilai oleh Guru TIK dan secara konten bahasa akan dinilai oleh Guru BI. Dalam perjalanan, para murid terlebih dahulu memutuskan untuk menciptakan pakan ternak organik bagi peternakan ayam negri (broiler) di sekolahnya.

 

Selama ini pakan yang digunakan adalah pakan jadi yang dibeli oleh sekolah. Para murid kemudian mencari, dan menguji coba berbagai sumber pakan organik di sekitar lingkungan mereka dan mengolahnya menjadi pakan ayam broiler. Akhirnya, mereka pun menemukan sumber pakan yang paling cocok dan ekonomis untuk skala produksi kala itu adalah cacing sutra yang diternak cukup banyak oleh masyarakat di sekitar sekolah. Setelah beberapa uji coba, mereka juga menemukan bahwa daging ayam broiler yang mengkonsumsi pakan dengan bahan utama cacing sutra memiliki massa daging lebih banyak dibanding yang mengkonsumsi pakan ternak biasa.

 

Sekolah melihat hal ini dan menghubungkan para murid dengan media TV lokal untuk membagikan apa yang mereka lakukan. Tak dikira, hal tersebut dianggap menarik oleh sebuah waralaba ayam goreng internasional yang beroperasi di kabupaten mereka dan memutuskan untuk menguji dan akhirnya menyatakan bahwa produk daging ayam broiler murid[1]murid ini layak untuk digunakan. Para murid pun diminta untuk memasok sebagian daging ayam untuk franchise tersebut.

 

Selain memproduksi sendiri daging ayam broiler di sekolah, para murid juga mengajak masyarakat peternak broiler di sekitar sekolah untuk menggunakan pakan buatan mereka sehingga menghasilkan volume daging yang cukup untuk memasok daging ayam ke waralaba tersebut.

Situasi 6

Pak Tegas adalah seorang guru di sebuah SMK. Sebagai seorang guru di jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ) ia kerap didatangi murid-muridnya untuk berdiskusi baik tentang pelajaran ataupun hal lainnya. Suatu hari, tercetus ide dari murid-murid untuk membuat sebuah wadah kegiatan bagi murid-murid TKJ.

 

Murid-murid tersebut mengusulkan satu program ekstra kurikuler yang bisa menampung keterampilan dan keahlian mereka dalam teknik komputer dan jaringan. Berbasis keterampilan dan keahlian mereka di jurusan teknik komputer dan jaringan, akhirnya disepakati nama program ekstrakurikuler itu dengan nama ITS (Information Technology Student).

Dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan pemandu dari Pak Tegas, murid-murid lalu mematangkan gagasan tersebut. Mereka mendiskusikan aspek-aspek apa, mengapa, bagaimana, siapa dari program tersebut secara lebih rinci. Setelah cukup matang, Pak Tegas lalu mengajak murid-muridnya untuk mempresentasikan ide mereka ini kepada Wakasek. Murid-murid ini pun lalu mempersiapkan presentasi ini. Ketika mendengarkan presentasi dari murid, Wakasek sangat mendukung. Namun, di pertemuan tersebut Wakasek juga menyampaikan bahwa anggaran sekolah hanya memungkinkan sebagian kecil saja dari ide murid tersebut yang dapat dijalankan.

 

Wakasek meminta murid-murid untuk mendiskusikan kembali kira-kira apa solusi yang bisa dilakukan. Setelah melakukan modifikasi ide beberapa kali, akhirnya berjalanlah program tersebut. Mengingat terbatasnya anggaran, murid-murid memutuskan untuk menyediakan jasa service komputer di tahun pertama pelaksanaan dengan peralatan seadanya yang tersedia di sekolah. Dari kegiatan itu, murid-murid kemudian dapat mengumpulkan uang kas yang kemudian menjadi modal untuk membeli perangkat-perangkat lain yang diperlukan.

 

Di tahun-tahun awal, Pak Tegas memberikan pendampingan langsung kepada murid-muridnya ini, Di tahun kedua, Pak Tegas hanya mensupervisi dan mengawasi kegiatan. Pembimbingan dilakukan bukan lagi dari guru kepada murid, tapi dari muridkepada murid. Murid tingkat dua akan membimbing murid tingkat 1. Program ini pun berlanjut menjadi semakin berkembang. Banyak ide-ide murid yang kemudian semakin banyak dapat diwujudkan dalam program ini.

 

Situasi 7

Video di situasi 7 menggambarkan tentang kegiatan komunitas belajar di SD Salam yang menggambarkan suasana pasar tradisional dengan murid yang berperan sebagai pedagang, penjual. Dengan kegiatan ini suara, pilihan, dan kepemilikan murid didorong. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak bersama tayangan video berikut ini.

https://www.youtube.com/watch?v=WCos-ElbEsA

 

Lingkungan yang Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid

 

Sebagaimana padi yang hanya akan tumbuh subur pada lingkungan yang sesuai, makakepemimpinan murid pun akan tumbuh dengan lebih subur jika sekolah dapatmenyediakan lingkungan yang cocok. Lingkungan yang menumbuhkembangkankepemimpinan murid adalah lingkungan di mana guru, sekolah, orangtua, dan komunitassecara sadar mengembangkan wellbeing atau kesejahteraan diri murid-muridnya secaraoptimal.

 

Noble et al (2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan siswa yang optimal adalah sebuahkeadaan emosional yang berkelanjutan yang dicirikan dengan (terutama) suasana hatidan sikap yang positif, hubungan positif dengan murid lain maupun guru, daya lenting atauketangguhan, pengoptimalan kekuatan diri, serta tingkat kepuasan yang tinggi terhadappengalaman belajar mereka di sekolah

Menyadur apa yang disampaikan oleh Noble tersebut, maka lingkungan yangmenumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah:

 

1. Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola piker positif dan merasakan emosi yang positif. Lingkungan yang seperti ini akan membuatmurid mampu dan berkeinginan untuk melakukan hal-hal secara positif untuk dirinyasendiri serta memberikan pengaruh positif kepada kehidupan orang lain dansekelilingnya. Pola pikir positif ini didapatkan oleh murid melalui pengalaman emosipositif dalam konteks sekolah, di mana murid bukan hanya merasa aman, nyaman,dan merasa menjadi bagian dari komunitas sekolah, namun juga didapat dariadanya keadaan di mana murid merasakan keselarasan antara kebutuhan danharapannya terhadap sekolah dan lingkungannya dengan pengalaman belajaryang didapatnya di sekolah. Lewat pengalaman emosi positif ini, murid akan mampumengembangkan keterampilan inkuiri, menunjukkan sikap gembira, penuh syukur,saling mengapresiasi. Mereka memiliki kesadaran diri, sikap optimis sehingga dapatberperan aktif dan membuat perbedaan yang positif baik untuk dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.

 

2. Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif,arif dan bijaksana, di mana murid akan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial positifyang berbasis pada nilai-nilai kebajikan yang dibangun oleh sekolah. Di dalamlingkungan yang seperti ini, nilai-nilai tersebut kemudian akan mewujud menjadiatmosfer sekolah yang positif, di mana hubungan dan interaksi sosial yang terjalindi antara para murid, guru, orang tua maupun seluruh komunitas yang terkaitakan terasa sangat positif dan kontributif.

 

3. Lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam prosespencapaian tujuan akademik maupun non-akademiknya. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk memiliki determinasi diri yang kuat dalam prosespembelajaran, baik dalam aspek akademik maupun non-akademik. Dalamlingkungan ini, murid akan belajar tentang nilai-nilai ketekunan serta kerja keras.Murid akan belajar untuk mampu melihat sejauh mana kemajuan proses belajarnya.Murid mampu mengerjakan tugas sekolahnya secara mandiri, memilikipemahaman yang benar dan cakap sehingga berhasil mencapai tujuan yang telahditetapkan.

 

4. Lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang seperti iniakan membantu murid untuk dapat menerapkan dan mempergunakan apa yangmenjadi kekuatan dirinya dan memanfaatkan serta menerapkannya dalam berbagai konteks yang berbeda-beda.

 

5. Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti tujuan, harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampaui pemenuhan kepentingan individu, kelompok, maupun golongan.

Lingkungan yang seperti ini akan memberikan kesempatan bagi murid untuk melihat dirinya sebagai bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar di luar dirinya. Lingkungan ini akan memberikan peluang bagi murid untuk belajar melalui pelayanan kepada masyarakat dan komunitas di mana mereka akan dapat terus mengasah rasa kemanusiaan, kepedulian, dan rasa cinta kasih.

 

6. Lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri. Lingkungan yang seperti ini akan menyediakan berbagai kegiatan belajar yang menarik, menantang, dan bermakna, di mana dalam prosesnya murid akan merasa senang hati dan menikmati setiap momen pembelajarannya.

 

7. Lingkungan yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus bangkit di tengah kesempitan dan kesulitan. Lingkungan ini akan membantu murid untuk berani menerima tantangan, berjiwa besar, dan selalu bangkit lagi dan berusaha mencari solusi bila menemui kegagalan. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk selalu mengambil pelajaran dari setiap kegagalan- kegagalan yang dijumpainya dan berusaha untuk menemukan cara-cara alternatif atau cara yang paling tepat. (disadur dari Noble, T. & H. McGrath, 2016)

 

Dalam rangka mewujudkan lingkungan belajar yang dapat menumbuhkan kepemimpinan murid, maka guru dan sekolah tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Mereka akan memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari komunitas. Di dalam bahasan selanjutnya di bawah ini, kita akan membahas bagaimana peran keterlibatan komunitas dalam menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.

 

Standar Pengelolaan Pendidikan memberikan panduan tentang seperti apa budaya dan lingkungan sekolah yang harus diciptakan dan dibangun. Standar Pengelolaan Pendidikan juga telah mengamanatkan bahwa mutu program pembelajaran di sekolah harus dikembangkan, salah satunya dengan cara melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis.

Program pembelajaran harus dilakukan dengan tujuan agar peserta didik mencapai pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual berupa berpikir, berargumentasi, mempertanyakan, mengkaji, menemukan, dan memprediksi. Oleh karenanya, setiap guru perlu berusaha agar murid-muridnya dapat meningkat rasa ingin tahunya, memiliki kemampuan mencari sumber informasi, menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan pengetahuannya kepada orang lain, serta mengembangkan kemampuan belajar mandiri dan kelompok. Kemampuan-kemampuan tersebut tentunya tidak bisa tumbuh dengan sendirinya.

 

Untuk mengembangkan semua hal tersebut, tentunya diperlukan lingkungan belajar yang mendukung. Membangun 7 karakteristik lingkungan yang mengembangkan kesejahteraan diri (well-being) seperti yang telah dijelaskan di atas sangat sejalan dengan upaya meningkatkan mutu program pembelajaran. Lewat lingkungan yang mengembangkan kesejahteraan diri tersebut, kepemimpinan murid diharapkan dapat tumbuh subur, Dapatkah Ibu/Bapak melihat keterkaitan tersebut?

 

Peran Keterlibatan Komunitas dalam Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid.

 

Dalam modul 3.2, Bapak dan Ibu sudah mempelajari bahwa salah satu dari tujuh aset/modal yang dapat menjadi kekuatan sekolah yaitu aset sosial. Komunitas adalah bentuk dari aset sosial yang dimiliki sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas program/kegiatan pembelajaran di sekolah. Yang dimaksud dengan komunitas di sini dapat terdiri dari murid, guru, orang tua, orang dewasa lain yang ada di sekitar murid, dan masyarakat atau lingkungan sekitar, yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi proses belajar murid.

 

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sendiri, telah mengamanatkan tentang pentingnya kemitraan antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Kemitraan ini disebut dengan “Tri Sentra Pendidikan”. Kemitraan tri sentra pendidikan adalah kerjasama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang berlandaskan pada asas gotong royong, kesamaan kedudukan, saling percaya, saling menghormati, dan kesediaan untuk berkorban dalam membangun ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budaya prestasi peserta didik. Melalui pemberdayaan, pendayagunaan, dan kolaborasi tri sentra pendidikan ini, maka keterlibatan yang bermakna dari orangtua dan anggota masyarakat dalam proses pembelajaran menjadi fokus yang perlu terus diupayakan oleh sekolah.

 

Sebagai pusat dari proses pendidikan, murid ‘berada’ dalam lintas komunitas. Mereka dapat berada sekaligus pada:

a. komunitas keluarga (anggotanya dapat terdiri orang tua, kakak, adik, pengasuh, dsb)

b. komunitas kelas dan antar kelas (anggotanya dapat terdiri teman sesama murid, guru)

c. komunitas sekolah (anggotanya dapat terdiri dari kepala sekolah, pustakawan, penjaga sekolah, laboran, penjaga keamanan, tenaga kebersihan, petugas kantin,

dsb)

d. komunitas sekitar sekolah (anggotanya dapat terdiri dari RT/RW, tokoh masyarakat setempat, puskesmas, tokoh agama setempat, dsb)

e. komunitas yang lebih luas. (anggotanya dapat terdiri dari organisasi masyarakat,

dunia usaha, media, universitas, DPR, dsb)

 

Semua komunitas tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses pembelajaran murid. Komunitas-komunitas tersebut merupakan aset sosial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas program/kegiatan pembelajaran di sekolah,

 termasuk dalam menumbuhkembangkan kepemimpinan murid, yaitu dengan bersama- sama ikut mempromosikan dan mendorong ‘suara, pilihan, kepemilikan’ murid dalam berbagai peran yang mereka mainkan dan interaksi mereka dengan murid.

 

Bagaimana kita dapat melibatkan masing-masing komunitas tersebut untuk membantu kita mempromosikan dan mendorong ‘suara, pilihan, kepemilikan’ murid? Mari kita coba bahas satu persatu.

 

a. Komunitas keluarga

Komunitas yang pertama dan utama bagi murid adalah keluarga mereka. Murid mungkin akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga mereka di rumah dibandingkan di sekolah. Oleh karena itu, sebagai pendidik, kita harus berusaha mencari cara bagaimana keluarga dapat ikut mengambil peran untuk ikut mendorong munculnya suara, pilihan, dan kepemimpinan murid. Ini tentunya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara di bawah ini:

 

“Sesungguhnya alam-keluarga itu bukannya pusat pendidikan individual saja, akan tetapi juga suatu pusat untuk melakukan pendidikan sosial. Orangtua harus melakukan pendidikan bersama dengan pusat-pusat pendidikan, dan terhubung dengan kaum guru dan pengajar [Ki Hadjar Dewantara dalam Wasita, Tahun ke-1 No.3, Mei 1993]”

 

Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak ketika berpikir akan mendorong keterlibatan mereka.

 

1. Sejauh mana orang tua telah memahami visi dan misi sekolah kita terkait dengan upaya kita menumbuhkan kepemimpinan murid? Apakah mereka memahami apa yang kita maksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid (voice, choice, dan

ownership)? Apa yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan pemahaman mereka?

 

2. Sejauh mana orang tua telah memahami bahwa keluarga merupakan salah satu sentra dari "tri sentra pendidikan"? Bagaimana memastikan visi keluarga dapat menumbuhkan kepemimpinan murid? Bagaimana kita dapat memastikan bahwa visi keluarga telah sinkron dengan visi sekolah?

 

3. Apakah keterlibatan orangtua dalam program/kegiatan pembelajaran di kelas atau sekolah kita selama ini telah mendorong dan menguatkan suara, pilihan, dan kepemilikan murid, atau justru sebaliknya melemahkannya? (misalnya apakah orang tua justru mengambil peran yang seharusnya dapat dilakukan oleh murid dengan dalih ‘ingin membantu’?)

 

4. Kesempatan-kesempatan apa sajakah yang telah kita berikan kepada orang tua untuk terlibat dalam program/kegiatan pembelajaran (baik intra kurikuler, ko

kurikuler, dan ekstra kurikuler) yang kita lakukan di kelas atau sekolah? Sejauh mana kesempatan tersebut ditujukan untuk mendorong suara, pilihan, dan kepemilikan murid dan membantu terwujudnya kepemimpinan murid?

 

5. Apa yang sudah kita lakukan untuk membuat orangtua memahami apa yang

sedang dilakukan oleh anak-anak mereka dalam program/kegiatan pembelajaran

yang dilakukan di kelas atau sekolah? ( sehingga mereka dapat terlibat dalam

percakapan atau komunikasi yang otentik dan relevan dengan anak-anak mereka

terkait dengan apa yang sedang dipelajari oleh mereka di sekolah)

 

Kami berharap, lewat beberapa pertanyaan di atas, Ibu/Bapak dapat lebih ‘mindful’ saat ingin melibatkan orang tua dalam proses/kegiatan pembelajaran di sekolah, agar tujuan kita dalam mewujudkan kepemimpinan murid dapat tercapai.

Di bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang dapat kita lakukan untuk melibatkan keluarga dalam program/kegiatan pembelajaran murid untuk menumbuhkan kepemimpinan murid.

 

Keluarga

● Memastikan orang tua memahami bahwa keluarga merupakan bagian dari Tri

Sentra Pendidikan. Ini dapat dilakukan misalnya dengan sosialisasi dan melibatkan

orang tua dalam diskusi-diskusi terkait dengan program-program sekolah.

 

● Memastikan orang tua memahami visi dan misi sekolah dalam mewujudkan

kepemimpinan murid (misalnya dengan mengadakan pelatihan orang tua

tentang apa yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid lewat

forum pertemuan orang tua dan berbagai kesempatan lainnya).

 

● Secara aktif melibatkan orang tua untuk membantu menyediakan dukungan dan

akses ke sumber-sumber belajar yang lebih luas untuk membantu mewujudkan

suara atau pilihan murid (misalnya meminta bantuan orang tua untuk

mengkoneksikan murid yang ingin mengakses masyarakat, lingkungan sekitar,

atau dunia usaha atau akses-akses lain yang mungkin sulit untuk dijangkau murid

atau sekolah, dsb).

 

● Mengadakan workshop atau sesi-sesi informasi yang dapat membantu orang tua

memahami pendekatan pembelajaran yang kita lakukan di sekolah (misalnya

melalui pelatihan orangtua tentang cara bertanya kepada anak, tentang

bagaimana berkomunikasi secara positif, tentang pentingnya ‘suara’, ‘pilihan’,

dan ‘kepemilikan’, dsb, sehingga mereka bisa ikut menerapkannya di rumah).

 

● Mengadakan berbagai aktivitas yang memberikan kesempatan bagi murid untuk

menunjukkan dan mendemonstrasikan hasil belajar atau pemahaman mereka

kepada orang tua, dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa pencapaian,

kepercayaan diri, kemandirian, dan berbagai sikap positif lainnya (misalnya

dengan mengundang orang tua untuk menghadiri perayaan, eksibisi atau

pameran hasil karya, assembly, pentas seni, dsb).

 

● Mendorong orang tua untuk mengajak anak-anak mereka ke tempat-tempat

yang dapat menumbuhkan rasa empati, mengekspos murid dalam kegiatan

pelayanan kepada masyarakat, dsb.

 

● Mendorong, mempromosikan dan mengapresiasi upaya orangtua dalam

membangun kemandirian, resiliensi, dan tanggung jawab murid (misalnya

dengan guru memberikan komentar positif di buku penghubung murid, dsb)

● Melibatkan orang tua dalam kegiatan-kegiatan non akademis/bukan

pembelajaran di kelas agar rasa kepemilikan lebih terbangun.

 

b. Komunitas kelas dan antarkelas.

Komunitas kelas dapat terdiri dari murid, guru, atau wali kelas, baik yang ada di kelas murid sendiri maupun di kelas lainnya. Bagaimana guru menavigasi interaksi mereka dengan murid dan interaksi antara murid dengan murid akan sangat mempengaruhi bagaimana suara, pilihan dan kepemilikan murid dapat diwujudkan. Oleh karenanya, peran Ibu/Bapak sangatlah besar disini.

 

Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk memikirkan tindakan apa yang dapat dilakukan oleh Ibu/Bapak untuk mendorong dan mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid di dalam kelas.

 

1. Apa yang telah saya lakukan untuk mendorong inkuiri/rasa ingin tahu dan kreativitas murid?

2. Apakah saya telah memastikan murid memahami apa yang menjadi target dari

program/kegiatan pembelajaran mereka? (sehingga murid dapat mengatur dirinya

sendiri dan memantau upaya mereka dalam mencapai target tersebut)

 

3. Apa yang telah saya lakukan untuk membantu murid membangun pemahaman

mereka sendiri? Apakah saya selalu memberikan jawaban pada murid? Seberapa

sering saya mengatakan “Ibu/Bapak juga belum mengetahui jawabannya. Mari kita

cari bersama-sama!”

 

4. Apakah saya memberikan ‘wait time’ atau waktu tunggu saat bertanya kepada

murid untuk memberikan mereka kesempatan berpikir?

 

5. Sejauh mana saya telah mengkoneksikan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari

murid?

 

6. Seberapa sering saya mengajak murid-murid melakukan refleksi?

7. Sudahkah saya bertanya tentang apa yang mereka ingin pelajari dan apa yang

mereka minati?

 

8. Sejauh mana saya memberi kesempatan murid untuk memilih cara, dengan siapa

dan bagaimana mereka belajar?

9. Apa yang telah saya lakukan untuk membawa murid keluar kelas/sekolah dan

mengkoneksikan mereka dengan masyarakat dan dunia yang lebih luas?

 

Di bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang mungkin dapat Ibu/Bapak

lakukan untuk menumbuhkan kepemimpinan murid dalam lingkup kelas.

 

Komunitas Kelas dan Antarkelas (anggotanya misalnya guru, kepala sekolah,

murid-murid)

 

● Memfasilitasi kerja kelompok dan kolaborasi antar murid di kelas dan murid antar

kelas (misalnya memberikan tugas proyek yang harus dikerjakan bersama-sama,

dsb).

 

● Mendorong murid untuk bertanya.

● Melibatkan murid dalam proses perencanaan pembelajaran.

● Melibatkan murid dalam proses penilaian.

● Membentuk dewan murid, komite-komite yang dipimpin oleh murid, kepanitiaan

kegiatan yang anggotanya adalah murid-murid.

● Mendorong terciptanya unity (kebersamaan), yang dapat mempromosikan rasa

kepemilikan murid (misalnya dengan mengadakan karnival olahraga, class

meeting, dsb).

● Memberikan kesempatan murid untuk terlibat dalam pengaturan prosedur,

rutinitas, kesepakatan kelas, dsb.

● Memberikan murid kesempatan untuk memberikan umpan balik dalam proses

pembelajaran.

 

c. Komunitas sekolah

Komunitas sekolah di sini adalah pihak-pihak yang aktif berkegiatan di sekolah (mungkin tidak berada di kelas setiap hari ), namun ada dalam hidup keseharian sekolah serta murid-murid di sekolah. Kepala sekolah, konselor, staf administrasi, tukang parkir, pustakawan, Ibu/Bapak kantin, penjaga sekolah, pengawas sekolah, komite sekolah, anggota yayasan serta lainnya adalah contoh anggota komunitas sekolah. Walaupun mereka tidak secara langsung mengajar murid di kelas atau terlibat dalam program/kegiatan pembelajaran secara langsung setiap harinya, namun peran dan apa yang mereka lakukan mempengaruhi proses belajar murid.

 

Mempertimbangkan peran mereka dalam mendorong suara, pilihan dan kepemilikan murid akan membantu kesuksesan upaya kita dalam menumbuhkan kepemimpinan murid.

 

Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk memikirkan bagaimana Ibu/Bapak dapat melibatkan mereka dalam mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid di dalam berbagai program/kegiatan pembelajaran di kelas dan

sekolah.

 

1. Sejauh mana anggota komunitas sekolah (misalnya tukang parkir, satpam, penjaga kantin, pustakawan, tenaga kebersihan) telah memahami visi dan misi sekolah kita terkait dengan upaya kita menumbuhkan kepemimpinan murid? Apakah mereka memahami apa yang kita maksud dengan suara, pilihan dan kepemilikan murid? mengapa pemahaman mereka menjadi penting? Apa yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan pemahaman mereka?

 

2. Apakah saya mengetahui apa saja yang dapat pustakawan sekolah saya kontribusikan untuk mendukung suara, pilihan, dan kepemilikan murid? Seberapa sering saya mengajak pustakawan terlibat dalam proses perencanaan program/kegiatan pembelajaran di kelas/sekolah saya?

 

3. Bagaimana tenaga kependidikan, dari mulai tukang parkir, satpam, sampai

penjaga kantin dapat saya dorong untuk membantu membangun lingkungan

belajar yang positif dan menghargai suara, pilihan, dan kepemilikan murid?

 

4. Bagaimana saya dapat melibatkan mereka untuk membantu mengoneksikan

murid-murid saya dengan dunia di luar kelas mereka sehingga murid-murid dapat

memperluas pembelajaran mereka dan mewujudkan suara serta pilihan mereka?

 

Di bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang mungkin dapat Ibu/Bapak

lakukan untuk melibatkan komunitas sekolah untuk membantu menumbuhkan

kepemimpinan murid. Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh lainnya?

Komunitas Sekolah (anggotanya misalnya tukang parkir, petugas TU, pustakawan,

laboran, penjaga sekolah, petugas kantin, satpam, tenaga kebersihan, dsb)

 

● Memastikan tenaga kependidikan yang ada di sekolah memahami visi dan misi

sekolah dalam mewujudkan kepemimpinan murid (misalnya dengan

mensosialisasikan visi, misi, kebijakan sekolah, program sekolah, dsb)

 

● Mengundang pustakawan untuk ikut serta dalam perencanaan pembelajaran,

sehingga mereka bisa membantu menyediakan akses ke sumber-sumber belajar

yang sesuai.

 

● Mendorong pustakawan untuk melibatkan murid dalam memberikan masukan

kepada pustakawan terkait dengan koleksi sumber-sumber belajar apa saja

yang murid perlukan.

 

● Mendorong pustakawan untuk menyediakan beragam perspektif dalam

sumber-sumber belajar yang mereka sediakan.

 

● Mendorong pustakawan untuk menyediakan sumber belajar yang multimoda

agar dapat mengakomodasi berbagai minat dan kebutuhan murid, dan agar

murid memiliki pilihan.

 

● Mendorong pustakawan untuk melibatkan murid dalam menentukan prosedur

yang memungkinkan murid untuk mengatur dan menavigasi diri mereka secara

bebas di dalam perpustakaan, namun tetap dengan bertanggung jawab.

● Mendorong laboran untuk membuat prosedur keamanan dan keselamatan

yang tetap memungkinkan murid untuk mandiri dan percaya diri dalam

melakukan kegiatan.

 

● Mendorong laboran untuk mempromosikan laboratorium sebagai salah satu

tempat yang menarik dan menyenangkan bagi murid untuk mengembangkan

keterampilan berpikir kritis dan kreatif.

 

● Mengundang tenaga kebersihan, penjaga sekolah, petugas kantin, satpam,

dan tenaga kependidikan lain untuk ikut berperan sesuai perannya di sekolah

dalam berbagai kegiatan pembelajaran. (misalnya melibatkan mereka menjadi

pembicara tamu di kelas, mengundang mereka dalam pertemuan-pertemuan

yang terkait dengan bagaimana mereka dapat mendukung murid, dsb).

 

● Mengadakan pelatihan bagi para staf pendukung tentang nilai-nilai dan

berbagai pendekatan belajar yang dilakukan oleh sekolah, sehingga mereka

dapat ikut memodelkan sikap dan perilaku sesuai dengan yang ingin kita

kembangkan pada diri anak, dsb (misalnya pelatihan tentang perlindungan

anak, pelatihan tentang protokol kesehatan, dsb)

 

d. Komunitas sekitar sekolah,

Komunitas sekitar sekolah adalah komunitas yang berada di luar sekolah namun masih dalam lingkup sekitar sekolah, atau yang dapat kita sebut sebagai masyarakat. Dalam komunitas ini termasuk apa dan siapa pun yang berada dalam radius yang dekat dengan

sekolah, misalkan: tempat ibadah, rumah sakit, warung, usaha di dekat sekolah, bisnis yang terkait dengan operasional sekolah (provider ATK, dan lainnya), perusahaan di mana orang tua bekerja, hingga keluarga besar dari tiap murid atau orang tua. Mereka mungkin tampak tidak ada kaitannya dengan program/kegiatan pembelajaran murid di kelas atau sekolah kita, namun memiliki potensi untuk mendorong suara, pilihan, dan kepemilikan murid karena peranan yang dapat mereka mainkan.

 

Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk memikirkan bagaimana melibatkan komunitas sekitar sekolah untuk membantu mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid.

 

1. Apakah saya mengetahui isu-isu yang sedang terjadi di dalam masyarakat yang ada di sekitar sekolah? Bagaimana saya dapat mengetahuinya?

 

2. Bagaimana saya dapat membawa isu-isu tersebut ke dalam kelas dan mentrasnformasikannya menjadi wahana untuk mewujudkan suara, pilihan dan kepemilikan murid?

 

3. Bagaimana saya dapat membuka ruang dialog dengan masyarakat sekitar sehingga saya dapat mengomunikasikan harapan saya tentang kepemimpinan murid yang ingin saya wujudkan di diri murid-murid saya?

 

Di bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang mungkin dapat Ibu/Bapak

lakukan untuk melibatkan komunitas sekitar sekolah untuk membantu menumbuhkan kepemimpinan murid. Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh lainnya?

 

Komunitas Sekitar Sekolah (anggotanya misalnya tokoh agama, RT/RW, puskesmas, RT/RW, pasar, sekolah-sekolah yang ada di sekitar, dsb)

 

● Mengajak murid untuk mengenal lingkungan sekitar sekolah mereka (melihat

masalah lingkungan/sosial, mengunjungi RT, RW, kelurahan, dsb.) untuk memantik

rasa penasaran dan pertanyaan para murid tentang konsep tertentu yang sedang

dipelajari di kelas (misal: sistem pemerintahan, peran pemimpin daerah, dan

lainnya).

 

● Melibatkan lingkungan sekitar dalam berbagai kegiatan pelayanan masyarakat

yang digagas murid agar lingkungan juga dapat merasakan dampak dari

keberadaan sekolah. (misalnya melakukan kegiatan pasar murah bagi penduduk

sekitar, forum diskusi, dsb).

 

● Mendorong kapasitas peran serta masyarakat sebagai bagian dari Tri Sentra

Pendidikan dengan merancang berbagai kegiatan kolaborasi dan kerjasama

dengan lingkungan sekitar, untuk membina hubungan baik dan agar tercipta rasa

saling percaya, sehingga lingkungan dapat memberikan berbagai kemudahan

dan dukungan bagi proses pembelajaran saat kita dan murid-murid perlukan

(misalnya: menjadi bagian dari kepanitiaan kegiatan Idul Kurban di masjid sekitar

sekolah, melakukan kegiatan kerja bakti bersama warga, mengundang Puskesmas untuk menjadi sumber belajar murid untuk memberikan edukasi dan pelatihan-pelatihan terkait bidang tugas kesehatan, sesekali mengundang RT/RW dalam kegiatan sekolah, dsb).

 

● Mengadakan pertemuan/forum antar kepala sekolah dan guru yang dapat meningkatkan pemahaman dan keterampilan kepala sekolah dan guru, yang mendorong, mempromosikan kepemimpinan murid, sehingga membuka kesempatan murid untuk berkolaborasi lintas sekolah.

● Mengadakan kegiatan perayaan bersama masyarakat sekitar. Misalnya seperti yang ditunjukkan oleh SD Salam berikut ini, di mana murid-murid ikut berpartisipasi bersama dengan masyarakat sekitar sekolah melakukan perayaan budaya “Panen Padi”. Kegiatan lengkapnya dapat dilihat dari video berikut ini: Video Kegiatan Wiwitan SD Salam

 

e. Komunitas yang lebih luas

Komunitas yang terakhir adalah komunitas yang jauh dari sekolah namun berpeluang dan mampu mempengaruhi sekolah. Media massa (lokal, nasional, regional, dunia), media sosial, universitas, pemerintah (daerah, pusat), ormas, parpol, dunia usaha, dunia industri, dan lainnya merupakan contoh dari komunitas yang lebih luas.

 

Walaupun komunitas ini mungkin tidak langsung berinteraksi dengan murid-murid kita,

namun keberadaan mereka mungkin dirasakan anak-anak atau mempengaruhi anak- anak. Contoh, meskipun mereka tidak berinteraksi langsung dengan para youtuber, namun apa yang dilakukan oleh youtuber dan pendapat-pendapat mereka mungkin mempengaruhi anak-anak. Oleh karena itu, peran mereka dalam membantu mewujudkan kepemimpinan murid yang mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid bisa menjadi signifikan.

 

Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk secara kritis memikirkan bagaimana dapat melibatkan komunitas yang lebih luas untuk membantu mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid voice, choice, dan ownership.

 

1. Siapa sajakah yang termasuk dalam komunitas yang lebih luas ini? Bagaimana mereka dapat secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh dalam program/kegiatan pembelajaran di kelas/sekolah?

 

2. Apakah memungkinkan bagi saya untuk melibatkan mereka secara langsung dalam program/kegiatan pembelajaran yang saya lakukan di kelas/sekolah saya?

 

3. Jika tidak memungkinkan mengundang dan melibatkan komunitas yang lebih luas ini secara langsung dalam pembelajaran di kelas, bagaimana saya dapat memanfaatkan konten atau produk, dari komunitas ini (misalnya berita terkini, artikel, jurnal penelitian, peraturan, kebijakan) dan membawanya ke kelas/sekolah untuk memunculkan inkuiri murid-murid saya?

4. Komunikasi seperti apa yang harus saya lakukan untuk mendorong keterlibatan? Komunitas yang Lebih Luas (misalnya media, dunia usaha, pemerintah, DPRD, universitas, organisasi masyarakat, dsb)

 

● Menggunakan artikel yang ada di media massa untuk memantik rasa ingin tahu murid.

● Melibatkan media untuk mengomunikasikan dan mempromosikan berbagai aksi inisiatif murid yang berdampak bagi komunitas.

 

● Menggunakan media dan teknologi untuk menghubungkan dan mengoneksikan murid dengan dunia yang lebih luas (misalnya melakukan teleconference dengan murid-murid lain di bagian dunia yang lain untuk mendiskusikan berbagai isu dan perspektif, memberikan kesempatan pada murid untuk menyampaikan pendapatnya di siaran radio).

 

● Mengundang keterlibatan dunia usaha untuk menjadi tempat magang murid.

 

● Mengadvokasi dunia usaha untuk menjadi ‘tempat belajar’ bagi murid untuk mengembangkan berbagai keterampilan (misalnya di beberapa sekolah ada perusahaan yang membangun bengkel kecil di sekolah untuk menjadi tempat belajar siswa).

 

● Melibatkan pemuka agama dan berbagai kegiatan keagamaan untuk mengembangkan sikap toleransi dan keterbukaan perspektif.

● Mendorong murid untuk menyuarakan pendapat, saran-saran, solusi dan menyalurkannya kepada para pembuat keputusan dan kebijakan (misalnya mengirimkan surat kepada para pembuat keputusan untuk menyampaikan alternatif solusi permasalahan yang diberikan oleh murid, mengundang pembuat kebijakan ke dalam forum diskusi dengan murid, dsb).

 

● Mendorong kemitraan antara universitas dan sekolah (misalnya menindaklanjuti ide-ide inovatif yang digagas murid untuk kemudian di riset lebih jauh oleh universitas, mengundang universitas ikut serta bekerjasama dengan sekolah mengembangkan program-program atau kegiatan sekolah melalui penelitian-penelitian, mengundang universitas sebagai sumber belajar murid sesuai dengan bidang keilmuan yang dibutuhkan murid dalam mengembangkan kegiatannya.

 

● Mengundang organisasi masyarakat ikut serta bekerja sama dengan sekolah menjadi sumber belajar dan melatih keterampilan murid sesuai dengan kebutuhan belajar murid (misalnya; organisasi kepemudaan, komunitas dongeng, komunitas peduli sampah, komunitas peduli lingkungan, komunitas olah raga, dll).

● Menggunakan konten atau isu-isu yang sedang berkembang di media sosial untuk dijadikan topik diskusi di kelas.

● Dapatkan Ibu/Bapak memberikan contoh-contoh lainnya?

 

Komunitas-komunitas yang mendukung kepemimpinan murid akan memahami bahwa sesungguhnya murid-murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan. Mereka akan berusaha menciptakan kesempatan-kesempatan yang mendorong tumbuhnya dan berkembangnya berbagai sikap dan keterampilan-keterampilan penting dalam diri murid, misalnya sikap percaya diri, mandiri, kreatif, gigih, keterampilan berpikir kritis, dalam berbagai interaksi yang mereka lakukan dengan murid, sehingga murid akan senantiasa merasa didukung, berdaya, dan memiliki efikasi diri yang tinggi.

Komunitas memiliki peran penting dalam membantu mewujudkan lingkungan belajar yang mendukung tumbuhnya kepemimpinan murid karena:

 

1. membantu menyediakan kesempatan bagi murid untuk mewujudkan pilihan dan suara mereka.

2. membantu murid untuk belajar melihat dan merasakan dampak dari pilihan dan suara yang dibuatnya.

3. membantu membentuk identitas diri dan efikasi diri murid yang lebih kuat.

 

4. membantu murid untuk dapat tumbuh menjadi agen perubahan yang dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap diri sendiri, orang lain, masyarakat serta lingkungan di sekitarnya.

 

Kita dapat melibatkan lintas komunitas tersebut dalam proses pembelajaran murid.

Namun, yang perlu diingat, jika kita ingin keterlibatan mereka dapat membantu mewujudkan kepemimpinan murid, maka keterlibatan mereka harus dapat mendorong aspek suara, pilihan dan kepemilikan murid. Jangan sampai keterlibatan komunitas justru membuat ketiga aspek tersebut menjadi berkurang.

 

Untuk dapat mempromosikan aspek suara, pilihan, dan kepemilikan murid, berikut adalah beberapa prinsip yang dapat dijadikan panduan dalam membangun interaksi murid dengan komunitas:

1. Membangun suasana yang menghargai murid. Hal ini agar dalam interaksinya dengan komunitas, murid akan senantiasa merasa disambut. dipercaya, dan aman secara fisik dan emosional.

 

2. Mendengarkan murid. Agar dapat tercipta sikap saling memahami dan saling percaya, maka perlu ada upaya untuk mendengarkan murid dengan tulus dan penuh perhatian. Terkadang mungkin tidak mudah melakukan hal ini karena tidak semua anak-anak mampu mengekspresikan apa yang ada dipikirannya dengan jelas. Perlu adanya kesabaran dan empati dari komunitas.

 

3. Dialog atau komunikasi dengan murid. Saat membangun pemahaman, murid akan mengkonstruksi pemahamannya melalui proses refleksi dari pengalaman interaksinya dengan lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Oleh karenanya, berkomunikasi dengan murid secara demokratis dan setara menjadi penting.

Komunikasi ini harus bersifat dua arah dan bersifat dialog dengan murid, dan bukan bersifat orang dewasa yang ‘memberi perintah’ kepada murid. Dengan meluangkan waktu untuk berdialog dan menanggapi gagasan murid tentang tindakan mereka, akan membantu murid untuk sampai pada pemahaman.

 

4. Menempatkan murid dalam kursi pengemudi. Dalam proses pembuatan keputusan, komunitas dapat memberikan saran atau mendorong ide-ide murid, namun pada akhirnya perlu memastikan bahwa murid lah yang akan mengambil keputusan.

 

Setelah membaca materi di atas, kami berharap Ibu/Bapak mulai dapat memahami agar program sekolah dapat berdampak positif pada murid, maka kita harus dapat meningkatkan kesempatan untuk mendorong kepemimpinan murid di dalam setiap tahapan pengelolaan program atau kegiatan (baik saat tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program atau kegiatannya). Dan untuk dapat melakukan ini dengan efektif, sekolah perlu mendorong keterlibatan komunitas

 

Mendorong kepemimpinan murid akan memperbesar peluang kita untuk memberikan kesempatan bagi murid-murid kita untuk belajar tentang berbagai keterampilan-keterampilan penting, yang dapat digunakan lintas disiplin, dan akan berguna bagi kehidupannya kelak. Keterampilan-keterampilan yang akan membantu mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mendorong kepemimpinan murid juga akan menumbuhkan efikasi diri yang kuat, sehingga diharapkan mereka akan percaya diri dan mampu membuat perubahan positif bagi dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan di sekitarnya.

Mereka akan dapat tumbuh menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

 Standar Pengelolaan Pendidikan mengamanatkan bahwa sekolah perlu melibatkan

warga dan masyarakat pendukung sekolah dalam mengelola pendidikan. Setiap sekolah juga diharapkan untuk menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang relevan, berkaitan dengan input, proses, output, dan pemanfaatan lulusan. Menurut Ibu/Bapak, apakah ada keterkaitan antara topik yang telah dijelaskan di atas dengan upaya pemenuhan standar tersebut?