Modul 3.3. CGP 11/2024
MODUL
3.3. PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK POSITIF PADA MURID
Kompetensi
Lulusan yang Dituju
Modul ini diharapkan berkontribusi untuk mencapai
kompetensi lulusan sebagai berikut:
1.
Guru Penggerak mampu menggerakkan
komunitas sekolah untuk bersama-sama mengembangkan dan mewujudkan visi sekolah
yang berpihak pada murid dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal.
2.
Guru Penggerak melakukan pendampingan
kepada seluruh komunitas sekolah untuk dapat menggunakan pendekatan reflektif
dan iteratif dalam mengelola program dan sumber daya sekolah.
3.
Guru Penggerak merencanakan,
menginisiasi dan mengorganisasi kerangka program pengembangan sekolah yang
mendorong kepemimpinan murid berbasis data dan bukti.
4.
Guru Penggerak memfasilitasi
pelibatan orang tua/wali murid dan masyarakat dalam pengembangan sekolah untuk
peningkatan kualitas belajar murid.
Capaian
Umum Modul 3.3
Secara umum, capaian dari modul ini adalah:
1.
CGP menyadari murid sebagai mitra
bagi guru dalam pembelajaran.
2.
CGP mengupayakan terwujudnya
lingkungan sekolah yang mendukung tumbuhnya murid-murid yang mampu menjadi
pemimpin dalam proses pembelajarannya sendiri.
3.
CGP menerapkan konsep kepemimpinan
murid pada program atau kegiatan sekolah.
Capaian
Khusus Modul 3.3:
Secara khusus, setelah mempelajari modul ini
diharapkan Calon Guru Penggerak mampu:
1.
menunjukkan pemahaman tentang konsep
kepemimpinan murid dan kaitannya dengan Profil Pelajar Pancasila.
2.
menunjukkan pemahaman tentang apa
yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid.
3.
menganalisis sejauh mana suara,
pilihan dan kepemilikan murid dipertimbangkan dalam program
intrakurikuler/kokurikuler/ekstrakurikuler sekolah untuk mewujudkan lingkungan
yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.
4.
mengidentifikasi strategi pelibatan
komunitas dalam program sekolah untuk mendukung tumbuhnya kepemimpinan murid.
5.
merancang sebuah prakarsa perubahan
di sekolah dalam bentuk sebuah program/kegiatan sekolah yang mendorong
kepemimpinan murid dengan menggunakan model prakarsa perubahan yang di sebut
dengan BAGJA.
Isi
Materi Modul:
1. Kepemimpinan murid:
a.
Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan
murid
b.
Suara murid, Pilihan murid,
Kepemilikan murid
c.
Kepemimpinan murid dan kaitannya
dengan Profil Pelajar Pancasila
2.
Lingkungan
yang
menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.
3.
Pelibatan
komunitas dalam program sekolah untuk mendukung tumbuhnya
kepemimpinan murid.
4.
Program
atau kegiatan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan
murid.
Kepemimpinan
Murid
1.
Apakah kepemimpinan murid ?
Dari
paket modul 1 dan 2 sebelumnya, Ibu/Bapak telah belajar bahwa murid harus menjadi
dasar bagi semua pengambilan keputusan yang kita buat di sekolah. Melalui
filosofi dan metafora “menumbuhkan
padi”,
Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita
bahwa dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid, kita harus secara
sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran murid
sehingga mampu memekarkan mereka sesuai dengan kodratnya.
Dengan
demikian, saat kita merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah,
baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau
ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama. Pertanyaannya
kemudian adalah sejauh mana kita dapat menempatkan murid dalam proses pengambilan keputusan terkait
dengan program/kegiatan pembelajaran
tersebut?
Kita
semua tentu sepakat bahwa murid-murid kita dapat melakukan lebih dari sekedar menerima instruksi dari guru. Mereka
secara alami adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin
tahu atau minat terhadap berbagai hal. Lewat rasa ingin tahu serta interaksi
dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka
kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan
sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita
sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan
dalam proses belajar mereka sendiri.
Namun,
pernahkah Ibu/Bapak melakukan refleksi dan kemudian menyadari bahwa terkadang,
guru atau orang dewasa sering memperlakukan murid-murid seolah-olah mereka
tidak mampu membuat keputusan, pilihan, atau memberikan pendapat terkait dengan
proses belajar mereka. Kadang-kadang kita bahkan tanpa sadar membiarkan
murid-murid kita secara sengaja menjadi tidak berdaya, dengan secara sepihak
memutuskan semua yang harus murid pelajari dan bagaimana mereka mempelajarinya,
tanpa melibatkan peran serta mereka dalam proses pengambilan keputusan
tersebut.
Agar
kita dapat menjadikan murid sebagai pemimpin bagi proses pembelajarannya sendiri,
maka kita perlu memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan
kapasitasnya dalam mengelola pembelajaran mereka sendiri, sehingga potensi
kepemimpinannya dapat berkembang dengan baik. Peran kita adalah:
1.
Mendampingi murid agar pengembangan potensi kepemimpinan mereka tetap sesuai
dengan kodrat, konteks dan kebutuhannya.
2.
Mengurangi kontrol kita terhadap mereka. Saat murid memiliki kontrol atas apa
yang terjadi, atau merasa bahwa mereka dapat mempengaruhi sebuah situasi
inilah, maka murid akan memiliki apa yang disebut dengan “agency”.
Agency
dapat diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk mempengaruhi fungsi dirinya
dan arah jalannya peristiwa melalui tindakan-tindakan yang dibuatnya. Albert
Bandura dalam artikelnya, Toward a Psychology of Human Agency
(2006) mengatakan, bahwa menjadi seorang agent (seseorang yang memiliki agency)
berarti orang tersebut secara sengaja mempengaruhi fungsi dan keadaan hidup
dirinya.
Dalam
pandangan ini, pengaruh pribadi merupakan bagian dari struktur kausal.
Orang-orang sebenarnya dapat mengatur diri sendiri, bersikap proaktif, meregulasi
diri sendiri, dan merefleksikan diri. Mereka bukan hanya dapat menjadi penonton
dari perilaku mereka sendiri, tetapi adalah kontributor untuk keadaan hidup
mereka sendiri.
Lebih
lanjut, dalam artikel yang sama Bandura juga mengatakan bahwa ada empat sifat
inti dari human agency, yang dalam modul ini kita singkat dengan akronim IVAR untuk memudahkan mengingat, yaitu:
1.
I - Intensi = Kesengajaan (intentionality). Seseorang yang
memiliki agency bukan hanya memiliki sekedar niat, tetapi di dalam niat mereka
sudah termasuk rencana tindakan dan strategi untuk mewujudkannya. Orang yang
memiliki agency akan memahami bahwa dalam mewujudkan niatnya, ia juga harus
mempertimbangkan keinginan pihak lain, sehingga berupaya untuk menemukan niatan
bersama dan mengelola kesaling-tergantungan rencana.
2.
V - Visi = Pemikiran ke depan (forethought). Pemikiran ke depan di
sini bukan hanya sekedar rencana yang mengarahkan masa depan. Mereka yang
berpikiran ke depan menjadikan visi (representasi kognitif dari visualisasi
masa depan) sebagai pemandu dan memotivasi tindakan-tindakan mereka saat ini.
Hal ini membuat mereka menjadi individu yang bersemangat dan bertujuan.
3.
A - Aksi = Kereaktifan-diri (self-reactiveness). Seseorang yang
memiliki agency, bukan hanya seorang perencana dan pemikir ke depan. Mereka
juga seorang pengendali diri (self-regulator). Setelah memiliki niat dan
rencana, ia tidak akan duduk diam dan menunggu. Mereka memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksi aksi atau tindakan yang tepat dan untuk memotivasi serta
mengatur eksekusinya.
4.
R - Refleksi = Kereflektifan-diri (self-reflectiveness). Seseorang
yang memiliki agency akan memiliki kesadaran yang baik akan fungsi dirinya.
Mereka akan melakukan refleksi terhadap efikasi dirinya, kecemerlangan dan
ketepatan pikiran dan tindakannya, dan kebermaknaan dari upaya yang mereka
lakukan dalam pencapaian tujuan, serta akan melakukan perbaikan jika
diperlukan. Kemampuan metakognitif untuk melakukan refleksi diri sendiri dan
kecukupan pemikiran dan tindakan seseorang adalah sifat yang paling jelas dari
orang yang memiliki agency.
Murid
mendemonstrasikan “student agency”
ketika mereka mampu mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan,
menyuarakan opini, mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan rasa ingin tahu,
berpartisipasi dan berkontribusi pada komunitas belajar, mengkomunikasikan
pemahaman mereka kepada orang lain, dan melakukan tindakan nyata sebagai hasil
proses belajarnya.
Mengingat
bahwa kata agency ini belum ada padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, maka
untuk kepentingan pembahasan di dalam modul ini, maka istilah student agency ini
selanjutnya akan diterjemahkan sebagai “kepemimpinan
murid”.
Jika
kita mengacu pada OECD (2019:5), ‘kepemimpinan murid’ berkaitan dengan pengembangan identitas dan rasa
memiliki. Ketika murid mengembangkan agency,mereka
mengandalkan motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset (pemahaman
bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi diri mereka
menuju kesejahteraan lahir batin (wellbeing).
Hal
inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk bertindak dengan memiliki
tujuan, yang membimbing mereka untuk berkembang di masyarakat. Konsep
kepemimpinan murid sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki
kemampuan dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka
sendiri dan dunia di sekitar mereka.
Kepemimpinan
murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan
refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan.
Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif, dan
membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar
menerima apa yang ditentukan oleh orang lain.
Ketika
murid menunjukkan agency dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka
berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka
mereka cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih
mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini,
murid-murid akan secara alamiah mempelajari keterampilan belajar (belajar
bagaimana belajar).
Keterampilan
belajar ini adalah sebuah keterampilan yang sangat penting, yang dapat dan akan
mereka gunakan sepanjang hidup mereka dan bukan hanya untuk saat ini.
Saat
murid menjadi pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran
mereka sendiri, maka hubungan yang tercipta antara guru dengan murid akan
mengalami perubahan, karena hubungannya akan menjadi bersifat kemitraan. Dalam
hubungan yang bersifat kemitraan ini, saat murid belajar mereka akan:
-
berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran yang ingin dicapainya
-
menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran
-
menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran
-
menunjukkan rasa ingin tahu
-
menunjukkan inisiatif
-
membuat pilihan-pilihan tindakan
-
memberikan umpan balik kepada satu sama lain.
Di
sisi lain, guru yang akan mengambil peranan sebagai mitra murid dalam belajar
akan:
-
berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati, dan menanggapi ide[1]ide,
pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif murid-murid mereka
-
memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid mereka untuk
memastikan proses pembelajaran sesuai untuk mereka
-
mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka dengan memberi mereka
tugas-tugas terbuka
-
menawarkan kesempatan kepada murid untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil
risiko
-
mempertimbangkan sejauh mana tingkat bantuan yang harus diberikan kepada murid
berdasarkan informasi yang mereka miliki
-
menunjukkan minat dan keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap
aktivitas murid untuk memperluas pemikiran mereka.
Untuk
lebih memahami konsep kepemimpinan murid, Ibu/Bapak dapat membaca tabel berikut
ini.
Kepemimpinan Murid
adalah….
|
Kepemimpinan Murid
bukan..
|
sesuatu
yang dapat kita dorong
|
sesuatu
yang bisa kita ‘berikan’ atau ‘ambil’
dari murid
|
murid
mengambil kepemilikan dan tanggung
jawab atas proses pembelajaran
mereka sendiri.
|
berarti
bebas sepenuhnya bagi murid karena
murid tetap membutuhkan bimbingan
guru. Terkadang terlalu banyak
pilihan dapat menjadi kontraproduktif
dan bukannya menginspirasi.
|
murid
memiliki suara dan pilihan atas apa
yang akan mereka pelajari, bagaimana
mereka belajar dan mengorganisir
pembelajaran mereka.
|
berarti
tidak ada akuntabilitas murid. Murid
tetap harus menunjukkan penguasaan
pengetahuan, konsep, dan
keterampilan.
|
murid
dapat memilih arah dan cara mencapai
tujuan pembelajaran sendiri.
|
berarti
mengganti peran guru. Murid justru
memerlukan umpan balik, negosiasi,
beradu argumen, tuntunan, coaching
dari gurunya di sepanjang proses
pembelajaran.
|
2. Menumbuhkembangkan
Kepemimpinan Murid
Saat
murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri (atau kita katakan:
saat murid memiliki agency, maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice),
pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses
pembelajaran mereka. Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid
kemudian mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses
belajarnya sendiri.
Tugas
kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang menumbuhkan
budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang
mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat
mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka.
Lalu,
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid? Mari kita bahas satu persatu ketiga aspek
tersebut
1. Suara (voice)
Ketika
kita berbicara tentang “suara” murid, maka kita sebenarnya bukan hanya berbicara
tentang memberi murid kesempatan untuk mengomunikasikan ide dan pendapat. Voice (suara) adalah pandangan,
perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui partisipasi aktif
mereka di kelas, sekolah, komunitas, dan sistem pendidikan mereka, yang
berkontribusi pada proses pengambilan keputusan dan secara kolektif
mempengaruhi hasilnya. (www.education.vic.gov.au)
Mempertimbangkan
suara murid adalah tentang bagaimana kita memberdayakan murid kita agar
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan. Suara murid yang otentik
memberikan kesempatan bagi murid untuk berkolaborasi dan membuat keputusan
dengan orang dewasa seputar apa dan bagaimana mereka belajar dan bagaimana
pembelajaran mereka dinilai.
Mempromosikan
suara murid dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dalam banyak cara. Suara murid dapat ditumbuhkan
melalui diskusi, membuka ruang ekspresi kreatif,
memberi pendapat, merelevansikan pembelajaran secara pribadi, dan sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana sekolah atau guru dapat
mempromosikan “suara murid”:
a.
Membangun budaya saling mendengarkan.
b.
Membangun kepercayaan diri murid agar mereka percaya bahwa setiap suara
berharga dan layak didengar.
c.
Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap proses belajar
yang
telah dilakukan.
d.
Melibatkan murid dalam memberikan umpan balik terhadap berbagai
program
dan kebijakan-kebijakan sekolah.
e.
Melibatkan murid dalam perencanaan pembelajaran.
f.
Melibatkan murid dalam menyusun kriteria penilaian.
g.
Memberikan kesempatan murid untuk bertanya, memberikan pendapat, berdiskusi
dalam berbagai kesempatan dan proses pembelajaran.
h.
Mengajak murid untuk mendiskusikan keyakinan kelas dan membuat kesepakatan
kelas.
i.
Membentuk dewan murid atau komite-komite yang anggotanya adalah murid-murid
untuk memberikan masukan kepada sekolah terhadap berbagai elemen sekolah
lainnya (misalnya lingkungan, fasilitas, kegiatan, kantin, seragam).
j.
Melibatkan murid untuk memberikan saran tentang alat permainan apa yang mereka
inginkan ada di halaman sekolah.
k.
Memberikan kesempatan murid untuk memberi saran terkait menu yang di jual
kantin.
l.
Membuat kotak saran untuk murid memberikan saran dan masukan tentang sekolah.
m.
Melakukan kegiatan pembelajaran berbasis proyek. Mengidentifikasi masalah atau
persoalan yang terjadi dalam dunia nyata yang menarik bagi murid dan kemudian
memberi kesempatan mereka untuk bekerja sama dan bertukar pikiran tentang
strategi dan solusi untuk permasalahan tersebut.
n.
Membuat blog murid dan majalah dinding untuk menyuarakan aspirasi dan kreativitas
murid.
Yang
disebutkan di atas hanyalah contoh-contoh. Dapatkah Ibu/Bapak
menyebutkan
contoh lainnya?
2. Pilihan (Choice)
Pilihan
(choice) adalah peluang yang diberikan
kepada murid untuk memilih kesempatan-kesempatan dalam ranah sosial,
lingkungan, dan pembelajaran. (marzanoacademies.org).
Dalam
ranah sosial, murid dapat diberikan kesempatan untuk berada dalam kelompok yang
sesuai dengan tujuan atau minatnya; dalam ranah lingkungan, murid dapat
diberikan kesempatan untuk memilih ataumengatur tempat belajar yang sesuai
untuk mereka.
Dalam
ranah lingkungan, murid diberikan kesempatan untuk memilih lingkungan belajar
yang paling mendukung untuk mereka belajar secara maksimal. Sementara dalam
ranah pembelajaran, murid diberikan pilihan-pilihan untuk mengakses, berlatih,
atau membuktikan penguasaan pengetahuan atau keterampilan dalam kurikulum.
Aiken
et al (2016) dalam Thibodeaux et al. (2019), menyimpulkan bahwa memberi pilihan akan
memberdayakan murid, mendorong keterlibatan, dan mempromosikan minat
dalam pengalaman belajar. Selain itu, memberi peserta didik pilihan dan kepemilikan
mensyaratkan bahwa kontrol dalam proses pembelajaran harus diberikan juga
kepada murid-murid (Thibodeaux 2017; 2019).
Bandura
(1997) juga menegaskan bahwa memberikan
murid pilihan juga akan meningkatkan motivasi dan otonomi murid,
yang dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid
(dalam Thibodeaux et al, 2019).
Pertanyaannya
sekarang adalah bagaimana guru dapat memberikan murid-murid ‘pilihan’ dalam
proses belajar mereka? Ada banyak cara yang dapat dilakukan. Berikut ini adalah
beberapa contoh bagaimana guru dapat mendorong dan menyediakan “pilihan” bagi
murid-muridnya.
a.
Membuka cakrawala murid bahwa ada berbagai pilihan atau alternatif yang dapat
dijadikan bahan pertimbangan sebelum menentukan sebuah keputusan.
b.
Memberikan kesempatan bagi murid untuk memilih bagaimana mereka mendemonstrasikan pemahamannya tentang apa
yang telah mereka pelajari.
c.
Memberikan kesempatan pada murid untuk memilih peran yang dapat mereka ambil
dalam sebuah kegiatan/program.
d.
Memberikan murid kesempatan untuk memilih kelompok.
e.
Memberikan kesempatan murid untuk mengelola pengaturan kegiatan.
f.
Menggunakan musyawarah untuk mengambil keputusan, atau jika memang diperlukan
melalui voting, untuk memprioritaskan langkah tindakan atau aktivitas
berikutnya. Misalnya saat ingin belajar tentang topik tertentu, guru dapat
mendiskusikan dan membuat daftar kegiatan apa saja yang dapat mereka lakukan,
kemudian meminta murid untuk memilih mana yang ingin mereka lakukan lebih dulu.
g.
Mengajak OSIS membuat daftar kegiatan (event), dan memberikan kesempatan untuk
memilih mana kegiatan yang ingin mereka lakukan di dalam satu tahun ajaran.
h.
Memberi kesempatan pada murid untuk menentukan sendiri bentuk penugasan yang
mereka inginkan.
i.
Memberikan kesempatan pada murid untuk mempresentasikan hasil kerja/proyek
sesuai dengan gaya , minat dan bakat mereka
j.
Memberikan kesempatan pada murid untuk menggali sumber-sumber belajar sesuai
minat mereka.
k.
memberikan kesempatan pada murid untuk mengevaluasi pembelajarannya.
l.
memberikan kesempatan pada murid untuk menentukan rencana, jadwal atau agenda
dalam melaksanakan pembelajarannya.
Ada
banyak lagi contoh lainnya. Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh lainnya?
3. Kepemilikan (ownership)
Dalam
pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa saat murid berada dalam kursi
kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap
proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih
tinggi dalam proses belajarnya.
Menurut
Duddley-Marling dan Searle yang dikutip oleh Rainer dan Mona dalam artikel yang
berjudul Ownership of Learning in Teacher Education (2002:27) bahwa kepemilikan bukanlah sesuatu
yang bisa diberikan, melainkan sesuatu yang berkembang dalam struktur dan
proses yang menyiratkan rasa hormat terhadap otonomi,
kekuasaan, suara, dan tanggung jawab kepada orang lain.
Dengan
demikian kondisi-kondisi, struktur, dan proses perlu dikembangkan agar guru mampu
menciptakan proses pembelajaran yang mendorong murid memiliki rasa kepemilikan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah:
-
Memberikan murid kesempatan untuk memilih beberapa kegiatan yang mereka lakukan
(misalnya memilih topik untuk dilaporkan).
-
Memberikan kesempatan murid berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum (misalnya,
memutuskan apa yang ingin mereka pelajari).
-
Memberikan murid kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam kelas.
-
Memberikan murid kesempatan untuk menilai diri sendiri dan terlibat dalam
proses penilaian (misalnya, melibatkan murid dalam mendiskusikan kriteria
rubrik proyek yang baik).
Voltz
DL, Damiano-Lantz M. dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing
Ownership in Learning. Teaching Exceptional Children (1993;18)
menjelaskan bahwa kepemilikan dalam
belajar (ownership in learning)
sebenarnya mengacu pada rasa
keterhubungan, keterlibatan aktif, dan investasi pribadi seseorang dalam proses
belajar.
Merujuk
pada pendapat tentang konsep kepemilikan, dapat dikatakan bahwa, saat murid
terhubung (baik secara fisik, kognitif, emosional) dengan apa yang sedang dipelajari,
terlibat aktif, dan menunjukkan investasi pribadi dalam proses belajarnya, maka
kita dapat mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka terhadap proses
belajar tinggi.
Berikut
ini adalah beberapa contoh mempromosikan “kepemilikan murid”:
-
Merespon dan menindaklanjuti masukan dan umpan balik dari murid.
-
Meminta pendapat murid untuk menentukan bentuk penugasan.
-
menciptakan lingkungan belajar di mana murid dapat menetapkan tujuan belajar
dan kriteria keberhasilan mereka sendiri, dan memantau dan menyesuaikan
pembelajaran mereka.
-
Secara terus menerus tunjukkan kepada murid bagaimana mereka dapat menjadi
pembelajar yang lebih baik dari hari ke hari, misalnya dengan belajar untuk
menerima kesalahan. Berbagilah dengan murid-murid kita bagaimana terkadang kita
membuat kesalahan dan bagaimana kita kemudian belajar dari kesalahan tersebut.
Dengan cara ini, murid akan selalu merasa diterima. tidak dituntut sempurna,
sehingga merasa nyaman dalam proses pembelajarannya.
-
Menanyakan kepada murid apa yang mereka ketahui tentang topik yang akan
dipelajari atau mendiskusikan pengalaman murid tentang topik tersebut, dan
mengkoneksikannya dengan pembelajaran yang akan dilakukan.
-
Memosting ide siswa (dengan seizin murid sebagai bagian dari menghargai dan
menghormati kepemilikan murid ).
-
Mengajak murid mengatur layout kelas mereka sendiri.
-
Mengkondisikan lingkungan fisik yang mendukung kepemilikan. Misalnya membuat
papan buletin, yang dapat digunakan murid untuk menampilkan informasi tentang
pekerjaan mereka, kesuksesan mereka, dsb.
-
Mengajak murid untuk mengatur kelas mereka sendiri.
-
Memajang pekerjaan-pekerjaan murid di kelas.
-
Melakukan penilaian diri sendiri (self assessment).
-
Membuat sudut murid di salah satu bagian sekolah, kemudian memberikan jadwal
untuk setiap kelas untuk melakukan sesuatu di sudut tersebut.
-
Memberi kesempatan murid membawa sumber-sumber pembelajaran yang mungkin mereka
miliki dan meminta mereka berbagi.
Ada banyak contoh lainnya.
Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh lainnya?
Untuk
menumbuhkan kepemimpinan murid dalam proses belajar, ketiga aspek tersebut
tentunya perlu didorong oleh guru. Pilihan dan suara murid menjadi penting agar
murid mempunyai rasa ‘memiliki’ proses pembelajaran mereka sendiri. Di sisi lain,
melalui pilihan dan dengan rasa memiliki yang kuat, suara mereka kemudian dapat
diwujudkan.
Perlu
diperhatikan bahwa ketiga aspek ini tidak dapat berada di lingkungan yang tidak
terstruktur. Ketiga aspek ini harus disematkan dengan hati-hati dalam lingkungan
belajar yang menumbuhkembangkan elemen-elemen tersebut secara otentik.
Lingkungan belajar yang seperti ini akan mensyaratkan seluruh anggota komunitas
untuk ikut terlibat dalam prosesnya.
3. Kepemimpinan Murid dan Profil
Pelajar Pancasila
Di
dalam modul 1.2, Ibu/Bapak sudah belajar bahwa Profil Pelajar Pancasila sebenarnya
adalah visi dan harapan Indonesia untuk karakter warganya di masa mendatang,
sehingga seharusnya menjadi landasan bagi visi sekolah. Upaya menumbuhkembangkan
kepemimpinan murid akan menyediakan kesempatan
bagi
murid untuk mengembangkan profil positif dirinya, yang kemudian diharapkan
dapat
mewujud sebagai pengejawantahan profil pelajar Pancasila dalam dirinya.
Jika
kita telaah lebih lanjut, dengan menumbuhkembangkan kepemimpinan murid maka
secara bersamaan kita sebenarnya juga sedang membangun karakter murid yang
-
beriman, bertakwa,
dan berakhlak mulia.
Menumbuhkembangkan
kepemimpinan murid akan mendorong murid untuk mengamalkan nilai-nilai agama dan
kepercayaannya dalam bentuk sikap[1]sikap
dan tindakan atau perilaku positif. Murid-murid yang memiliki kepemimpinan yang
kuat, akan menunjukkan akhlak yang baik terhadap dirinya pribadi, terhadap
sesama, negara dan alam ciptaanNya.
Mengapa?
Ini karena mereka akan tumbuh menjadi murid yang merdeka, yang bukan hanya
tidak terperintah saja, namun juga dapat menegakkan diri, serta mengatur
kehidupan dirinya sendiri, hubungannya dengan orang lain. dan lingkungan dengan
baik. Mereka akan mampu menjunjung nilai-nilai kebajikan universal, seperti
cinta kasih sesama manusia, kejujuran, dan sebagainya.
- berkebinekaan global.
Menumbuhkembangkan
kepemimpinan murid akan melatih murid-murid kita untuk memiliki pemikiran dan
wawasan yang luas dan terbuka. Mereka akan terbiasa untuk melihat perbedaan,
menghargai beragam perspektif sehingga diharapkan dapat hidup ditengah-tengah
masyarakat yang majemuk.
Mereka
akan mampu beradaptasi dengan situasi dan perubahan yang dihadapinya, dan mampu
menjadi pemecah masalah yang percaya diri dimanapun ia berada.
- bergotong royong.
Mendorong
kepemimpinan murid akan melatih murid untuk terlibat dan berinteraksi dengan
orang lain, bekerjasama dan berkontribusi dalam masyarakat yang lebih luas.
Lewat interaksi ini, mereka akan memiliki keinginan untuk membantu orang lain
yang membutuhkan, dan mampu berkolaborasi untuk melakukan tindakan demi
kebermanfaatan dan kebahagiaan bersama.
- mandiri.
Menumbuhkembangkan
kepemimpinan murid mendorong murid untuk mengambil kontrol dan bertanggung jawab
pada proses pembelajarannya sendiri. Saat kita mendorong kepemimpinan murid,
maka kita juga melatih kemampuan mereka untuk meregulasi diri sendiri. Mereka
akan dapat menetapkan tujuan dan rencana strategis bagi pengembangan dirinya sendiri
sekaligus mampu menunjukkan resiliensi dan kemampuan beradaptasi yang baik
dalam berbagai situasi, serta percaya diri bahwa ia mampu menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya.
- bernalar kritis.
Menumbuhkembangkan
kepemimpinan murid akan mendorong murid untuk memiliki kemampuan bernalar
kritis karena mereka akan belajar untuk membuat pilihan-pilihan dan membuat
keputusan-keputusan yang bertanggung jawab. Mereka juga akan berlatih untuk
mengembangkan keterampilan refleksi terhadap proses pembelajaran dan belajar dari
berbagai situasi yang terjadi lewat interaksi mereka dengan komunitas yang lebih
luas.
- kreatif.
Menumbuhkembangkan
kepemimpinan murid memungkinkan murid untuk terekspos pada pengalaman belajar
otentik yang menuntut mereka untuk mampu melihat permasalahan dan secara kreatif
berusaha mencari solusi atas permasalahan tersebut. Mendorong murid untuk
bersuara berarti juga membuka ruang bagi sikap berani mengambil risiko,
sehingga murid tidak takut untuk mengungkapkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran
kreatif mereka.
Untuk
lebih memperdalam pemahaman Ibu/Bapak terkait dengan elemen suara, pilihan, dan
kepemilikan, serta kaitan antara kepemimpinan murid dengan Profil Pelajar
Pancasila, silahkan Ibu/Bapak lihat beberapa contoh program atau kegiatan sekolah
yang disajikan dalam narasi situasi dan video berikut ini. Setelah membaca dan
menonton, Ibu/Bapak akan kami minta untuk melakukan refleksi.
Situasi 1.
TK
Cahaya memiliki sedikit lahan di samping halaman bermain sekolah yang belum dimanfaatkan.
Saat ini, lahan tersebut bukan hanya terlantar namun juga memberikan
pemandangan yang kurang apik karena menjadi tempat tumpukan barang-barang yang
tidak terpakai. Pak Segar, guru TK B sangat prihatin dengan kondisi tersebut.
Saat ia mengawasi dan mengamati murid-muridnya istirahat bermain, Pak Segar
lalu mengajak beberapa murid-muridnya bercakap-cakap. Ia meminta ide dari
murid-muridnya untuk mengetahui sebaiknya lahan yang luasnya terbatas tersebut
digunakan untuk apa.
Ia
menanyakan apa saja yang mereka inginkan ada di halaman bermain sekolah mereka.
Saat itu, murid-muridmemberikan banyak sekali pendapat. Namun, di antara
pendapat-pendapat yang diberikan oleh murid, ada salah satunya yang sangat
menarik. Murid itu mengatakan bahwa ia ingin
ada
kebun di sekolah di mana ia nanti bisa menanam biji jeruk yang dimakannya. Pak
Segar merasa ide murid tersebut sangat mungkin untuk diwujudkan dengan anggaran
yang terbatas. Di kelas, Pak Segar lalu mengajak murid-murid untuk mendiskusikan
lebih lanjut ide tersebut.
Ternyata
ide tersebut juga didukung oleh murid-murid yang lain. Ia lalu meminta murid-muridnya
untuk menggambarkan seperti apa kebun impian mereka. Ia juga menanyakan
jenis-jenis tanaman apa yang mereka ingin ada di kebun tersebut. Dari hasil diskusi,
Pak Segar tidak hanya mendapatkan ide tentang kebun seperti apa yang diinginkan
oleh anak-anak, namun, anak-anak ternyata juga dapat mengusulkan bagaimana
mereka dapat membantu mewujudkan kebun tersebut.
Ada
murid yang mengatakan akan membawa biji pepaya yang biasa ia makan di rumah
untuk di tanam di kebun itu. Ide ini kemudian diikuti oleh anak-anak lain yang
juga ingin membawa potongan jenis-jenis sayuran yang dapat ditanam kembali dari
sisa potongan sayuran yang mereka konsumsi di rumah. Dengan bantuan pertanyaan-pertanyaan
Pak Segar, anak-anak bahkan dapat memberikan gagasan bagaimana kebun ini bisa
dirawat bersama oleh murid-murid. Seorang murid, yang ayahnya adalah petani
bahkan akhirnya menawarkan akan mengajak ayahnya untuk membantu menyiapkan lahan
tersebut supaya siap untuk ditanami, karena ia sering melihat ayahnya melakukan
hal tersebut.
Pak
Segar lalu membawa ide murid-murid ini kepada kepala sekolah. Kepala Sekolah
sangat mendukung ide tersebut dan meminta Pak Segar untuk mendiskusikan lebih
lanjut ide ini dengan guru-guru kelas lain. Setelah dimatangkan, ide yang
awalnya berasal dari usulan murid-murid tersebut akhirnya mewujud menjadi
sebuah program yang kemudian disebut dengan “Program Kebun Cahaya”. Setiap
kelas di TK Cahaya kini memiliki kavling kecil di lahan yang tadinya terlantar
tersebut dan secara bersama bertanggung jawab untuk merawatnya.
Situasi 2
Bu
Ara mengajar di Kelas 1 SD. Di awal tahun ajaran baru ia ingin melibatkan murid[1]muridnya
mengatur sendiri ruang kelas mereka. Bu Ara ingin murid-muridnya memiliki rasa
kepemilikan terhadap kelas mereka sehingga mereka akan secara sadar menjaga dan
memelihara kelasnya dengan baik.
Ia
kemudian meminta murid[1]muridnya
untuk bekerja kelompok merancang layout kelas. Setiap kelompok diberikan
selembar kertas dan mendiskusikan lalu memutuskan di mana mereka akan meletakkan
loker, kursi, meja, tempat sampah, keranjang buku, lemari buku, meja guru,
dsbnya. Karena murid-murid kelas 1 belum semuanya bisa menulis, maka mereka
boleh menggambar.
Setelah
itu setiap kelompok akan menjelaskan layout kelas kelompok mereka di depan
kelas. Murid-murid lain dapat memberikan pertanyaan tentang layout tersebut.
Setelah semua kelompok melakukan presentasi, mereka kemudian harus memutuskan
layout mana yang akan dipilih untuk diimplementasikan. Setelah dilakukan
pemilihan, terpilihlah satu layout yang paling ingin diimplementasikan oleh
murid-murid di kelas tersebut.
Namun,
Ibu Ara lalu menyadari bahwa layout pilihan tersebut menurut kacamata dia
sebagai guru sepertinya adalah layout yang “paling sulit untuk dilakukan dan
paling tidak efektif”. Namun karena itu yang paling banyak dipilih, Ibu Ara ingin
sekali mewujudkan desain itu untuk menghargai pilihan murid. Ibu Ara sangat galau,
karena ia tahu, kalau ia mewujudkan desain tersebut, kelasnya akan menjadi
tidak rapi dan berantakan.
Orang tua murid dan kepala sekolah juga pasti akan
mempertanyakan. Ibu Ara pun akhirnya
memutuskan untuk berbicara langsung kepada kepala sekolah. Di luar dugaan,
kepala sekolah sangat mengapresiasi upaya bu Ara menghargai pilihan murid-muridnya.
Lewat proses diskusi dan dengan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan
oleh kepala sekolah, Ibu Ara akhirnya memutuskan untuk tetap mewujudkan
layout tersebut dan akan mengevaluasinya setelah beberapa hari diimplementasikan.
Proses evaluasi ini akan menjadi sebuah proses pembelajaran yang
berharga buat murid. Setelah beberapa hari mengimplementasikan layout pilihan
murid tersebut, Ibu Ara pun lalu mengajak murid-muridnya berefleksi dan menanyakan
apakah menurut mereka, layout ini membantu mereka untuk belajar, bergerak
dan berinteraksi dengan baik di kelas. Bu Ara memberikan pertanyaan[1]pertanyaan
reflektif untuk membantu siswa berefleksi.
Ternyata murid-murid Ibu Ara juga
merasa bahwa layout tersebut tidak efektif. Ada yang bilang tempat sampahnya
ternyata kejauhan. Atau ternyata letak lemari bukunya menghalangi orang
untuk melihat ke luar jendela. Setelah melakukan refleksi, Ibu Ara lalu mengajak
murid-muridnya untuk memberikan saran bagaimana agar layout kelas mereka
bisa lebih efektif. Berdasarkan masukan murid-murid, di minggu berikan layout
kelas mereka pun diubah sesuai dengan hasil refleksi, sehingga menjadi lebih efektif.
Situasi 3
SMP
Matahari setiap tahun memiliki program yang disebut “study wisata” untuk murid[1]muridnya
di Kelas IX. Biasanya, kegiatan ini dirancang oleh guru di awal tahun ajaran dan
dilaksanakan di akhir tahun ajaran. Walaupun kegiatan ini adalah kegiatan tahunan
yang selalu dinanti-nantikan oleh murid-murid Kelas IX, namun sejak tahun lalu
Pak Atap, salah satu guru kelas IX SMP Matahari merasa kegiatan ini akhirnya hanya
menjadi kegiatan wisata rutin, yang lebih bersifat perayaan dan bersenang[1]senang.
Murid-murid memang tampak senang, namun Pak Atap merasa bahwa murid-murid
seharusnya dapat belajar lebih banyak lagi dari kegiatan study wisata ini.
Di
awal semester, Pak Atap menyatakan kegelisahanya ini kepada kepala sekolah yang
kemudian menyarankannya untuk membuat komite ad hoc yang disebut dengan Komite
Studi Wisata Kelas 9, yang anggotanya adalah perwakilan guru dan murid. Pak
Atap lalu mengajak 2 orang perwakilan guru dan 6 orang perwakilan murid dari
masing-masing Kelas untuk menjadi anggota komite studi wisatatersebut (ada 3
kelas IX di SMP Matahari dan masing-masing kelas diwakili 2 orang). Karena pelaksanaan
studi wisata ini masih lama waktunya, komite ini sepakat bertemu setiap bulan
sekali untuk mendiskusikan semua elemen yang terkait pelaksanaan studi wisata
dan akan bertemu seminggu sekali sebulan sebelum pelaksanaan program tersebut.
Di
awal pertemuan komite, Pak Atap menanyakan kepada murid-murid anggota komite
tersebut, sejauh ini, pengetahuan dan keterampilan apa saja yang telah mereka
pelajari selama di Kelas 9? Pak Atap juga menjelaskan bahwa sebenarnya tujuan
dari kegiatan studi wisata tersebut salah satunya adalah untuk membantu mereka
memperdalam pengetahuan dan memperkuat berbagai keterampilan yang telah mereka
pelajari tersebut.
Pak
Atap lalu menanyakan kepada murid-murid, apa lagi sebenarnya keuntungan dari
kegiatan studi wisata ini untuk mereka. Setelah menjelaskan tujuan kegiatan
studi wisata, Pak Atap lalu menanyakan destinasi seperti apa yang menarik buat
mereka, yang dapat membantu murid mencapai tujuan yang diharapkan dari studi
wisata tersebut. Pak Atap menjelaskan kriteria destinasi wisata yang aman dan
memungkinkan untuk dikunjungi dan juga menjelaskan tentang kemungkinan
keterbatasan anggaran, agar murid-murid lebih mindful saat memilih destinasi
ini. Murid-murid anggota komite ini kemudian memutuskan melakukan riset dan
juga meminta pendapat teman-teman kelasnya.
Melalui
proses ini, Pak Atap jadi mengetahui tentang apa yang disukai oleh murid[1]murid
kelas 9 ini. Setelah diberi waktu melakukan riset, perwakilan murid ini
menyortir 3 pilihan destinasi yang menurut kelas mereka sesuai dengan kriteria.
Secara bersama-sama. anggota komite lalu mendiskusikan pilihan-pilihan
destinasi ini.
Mereka
menggunakan checklist yang mengacu pada kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Destinasi yang memenuhi semua kriteria pun akhirnya yang dipilih. Murid
perwakilan komite ini kemudian membawa destinasi pilihan ini kepada kepala sekolah.
Kepala sekolah lalu meminta komite untuk mempresentasikan ide ini kepada para
orang tua Kelas 9. Setelah mendapatkan persetujuan dan masukan dari para orang
tua, Komite Studi
Wisata
inipun lalu mulai melakukan persiapan secara matang. Murid-murid dalam komite
ini memberikan gagasan tentang apa saja kegiatan yang akan menarik untuk dilakukan,
siapa yang akan memimpin kegiatan, apa yang akan dilakukan saat perjalanan,
dsb.
Guru-guru
dalam komite memberikan pandangan dan perspektif tentang keamanan, risiko,
tantangan yang mungkin akan dihadapi, atau memberikan saran saat murid merasa
bahwa sebuah ide kelihatannya sulit untuk diwujudkan. Proses diskusi tentang
studi wisata ini menjadi sangat kolaboratif. Setelah pelaksanaan Studi Wisata,
sebelum komite ini dibubarkan, komite ini juga bertemu lagi untuk kemudian
melakukan refleksi terhadap pelaksanaannya dan memberikan saran perbaikan.
Saran perbaikan ini akan menjadi dasar untuk diskusi awal oleh komite Studi
Wisata yang baru di tahun ajaran yang akan datang.
Situasi 4
Dalam
masa pandemi ini, Pak Bahri, seorang kepala sekolah SMA merasa galau karena
sudah selama 1 tahun ajaran, semua kegiatan ekstra kurikuler di sekolahnya harus
dihentikan. Ia merasa murid-muridnya masih perlu melakukan berbagai kegiatan
yang dapat mengasah minat dan bakatnya, meskipun di masa pandemi.
Namun
ia bingung, dengan segala keterbatasan di masa pandemi ini, kira-kira kegiatan
apa yang menarik minat murid dan masih memungkinkan untuk dapat dilakukan
secara daring. Ia kemudian mengajak murid-murid yang menjadi anggota OSIS untuk
bertemu secara daring. Setelah menanyakan kabar, perasaan, dan umpan balik
mereka tentang kegiatan pembelajaran daring yang selama ini dilakukan, barulah
Pak Bahri kemudian menyampaikan kegalauannya. Ia tanyakan apakah murid-murid
merasakan kegalauan yang sama dengannya. Dari pertemuan tersebut, ia mengetahui
ternyata murid-murid juga merasakan kegalauan yang sama. Ia lalu menanyakan
apakah anak-anak memiliki saran atau gagasan, bagaimana mereka dapat tetap
mengadakan kegiatan ekstrakurikuler, walaupun secara daring, dan apa saja
kegiatan-kegiatan yang sekiranya menarik minat murid[1]murid.
Ternyata,
murid-murid memiliki banyak sekali gagasan yang luar biasa tentang ragam
aktivitas yang dapat dilakukan. Namun, ada beberapa kegiatan yang disarankan
yang sepertinya sulit untuk dilakukan, karena Pak Bahri merasa bahwa tidak ada
guru yang memiliki keahlian untuk dapat mengajarkan kegiatan tersebut. Pak
Bahri pun menyampaikan kesulitan tersebut kepada para anggota OSIS. Ternyata,
murid-murid malah memberikan ide untuk meminta agar murid saja yang mengajar
kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Mereka rupanya mengetahui ada salah satu
teman mereka yang “ahli’ melakukan hal tersebut. Mereka mengatakan, guru cukup
mensupervisi kegiatannya saja, tetapi murid yang memang memiliki keahlian tersebutlah
yang akan mengajarkan teknik-tekniknya.
Mereka
juga bahkan mengajukan diri untuk membantu membujuk anak tersebut agar bersedia
menjadi ‘guru’ untuk kegiatan ekstra kurikuler tersebut. Akhirnya, atas
kesepakatan bersama, mereka memutuskan untuk melakukan beberapa kegiatan ekstrakurikuler.
Ada kegiatan yang diajar oleh guru, dan untuk beberapa kegiatan yang tidak
dapat diajarkan oleh guru, diajarkan oleh murid-murid dengan supervisi guru.
Mereka lalu mendiskusikan jadwal, sumberdaya yang diperlukan, dan
pengorganisasiannya.
Dibantu
oleh OSIS akhirnya kegiatan tersebut dipromosikan dan ternyata, animo murid
untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler tersebut sangat besar. Pak Bahri
pun merasa senang.
Situasi 5
Dalam
satu kesempatan, sebuah SMK menjalankan pembelajaran terintegrasi berbasis
proyek. Mata pelajaran normatif yang terkait adalah Bahasa Indonesia (BI), Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai mata pelajaran adaptif, dan mata pelajaran
Teknologi Pakan Ternak (TPK) sebagai mata pelajaran produktif.
Guru
pelajaran TPK menantang murid untuk mengidentifikasi potensi pakan ternak
organik dari lingkungan dan masyarakat sekitar berikut permasalahannya,
kemudian menawarkan solusi untuk mengembangkannya. Tawaran solusi akan
dipaparkan melalui presentasi yang secara teknis akan dinilai oleh Guru TIK dan
secara konten bahasa akan dinilai oleh Guru BI. Dalam perjalanan, para murid
terlebih dahulu memutuskan untuk menciptakan pakan ternak organik bagi
peternakan ayam negri (broiler) di sekolahnya.
Selama
ini pakan yang digunakan adalah pakan jadi yang dibeli oleh sekolah. Para murid
kemudian mencari, dan menguji coba berbagai sumber pakan organik di sekitar
lingkungan mereka dan mengolahnya menjadi pakan ayam broiler. Akhirnya, mereka pun
menemukan sumber pakan yang paling cocok dan ekonomis untuk skala produksi kala
itu adalah cacing sutra yang diternak cukup banyak oleh masyarakat di sekitar
sekolah. Setelah beberapa uji coba, mereka juga menemukan bahwa daging ayam
broiler yang mengkonsumsi pakan dengan bahan utama cacing sutra memiliki massa
daging lebih banyak dibanding yang mengkonsumsi pakan ternak biasa.
Sekolah
melihat hal ini dan menghubungkan para murid dengan media TV lokal untuk
membagikan apa yang mereka lakukan. Tak dikira, hal tersebut dianggap menarik
oleh sebuah waralaba ayam goreng internasional yang beroperasi di kabupaten
mereka dan memutuskan untuk menguji dan akhirnya menyatakan bahwa produk daging
ayam broiler murid[1]murid
ini layak untuk digunakan. Para murid pun diminta untuk memasok sebagian daging
ayam untuk franchise tersebut.
Selain
memproduksi sendiri daging ayam broiler di sekolah, para murid juga mengajak
masyarakat peternak broiler di sekitar sekolah untuk menggunakan pakan buatan
mereka sehingga menghasilkan volume daging yang cukup untuk memasok daging ayam
ke waralaba tersebut.
Situasi 6
Pak
Tegas adalah seorang guru di sebuah SMK. Sebagai seorang guru di jurusan Teknik
Komputer Jaringan (TKJ) ia kerap didatangi murid-muridnya untuk berdiskusi baik
tentang pelajaran ataupun hal lainnya. Suatu hari, tercetus ide dari
murid-murid untuk membuat sebuah wadah kegiatan bagi murid-murid TKJ.
Murid-murid
tersebut mengusulkan satu program ekstra kurikuler yang bisa menampung
keterampilan dan keahlian mereka dalam teknik komputer dan jaringan. Berbasis
keterampilan dan keahlian mereka di jurusan teknik komputer dan jaringan,
akhirnya disepakati nama program ekstrakurikuler itu dengan nama ITS (Information
Technology Student).
Dengan
bantuan pertanyaan-pertanyaan pemandu dari Pak Tegas, murid-murid lalu mematangkan
gagasan tersebut. Mereka mendiskusikan aspek-aspek apa, mengapa, bagaimana,
siapa dari program tersebut secara lebih rinci. Setelah cukup matang, Pak Tegas
lalu mengajak murid-muridnya untuk mempresentasikan ide mereka ini kepada
Wakasek. Murid-murid ini pun lalu mempersiapkan presentasi ini. Ketika
mendengarkan presentasi dari murid, Wakasek sangat mendukung. Namun, di
pertemuan tersebut Wakasek juga menyampaikan bahwa anggaran sekolah hanya
memungkinkan sebagian kecil saja dari ide murid tersebut yang dapat dijalankan.
Wakasek
meminta murid-murid untuk mendiskusikan kembali kira-kira apa solusi yang bisa
dilakukan. Setelah melakukan modifikasi ide beberapa kali, akhirnya berjalanlah
program tersebut. Mengingat terbatasnya anggaran, murid-murid memutuskan untuk
menyediakan jasa service komputer di tahun pertama pelaksanaan dengan peralatan
seadanya yang tersedia di sekolah. Dari kegiatan itu, murid-murid kemudian
dapat mengumpulkan uang kas yang kemudian menjadi modal untuk membeli
perangkat-perangkat lain yang diperlukan.
Di
tahun-tahun awal, Pak Tegas memberikan pendampingan langsung kepada
murid-muridnya ini, Di tahun kedua, Pak Tegas hanya mensupervisi dan mengawasi
kegiatan. Pembimbingan dilakukan bukan lagi dari guru kepada murid, tapi dari
muridkepada murid. Murid tingkat dua akan membimbing murid tingkat 1. Program
ini pun berlanjut menjadi semakin berkembang. Banyak ide-ide murid yang
kemudian semakin banyak dapat diwujudkan dalam program ini.
Situasi 7
Video
di situasi 7 menggambarkan tentang kegiatan komunitas belajar di SD Salam yang
menggambarkan suasana pasar tradisional dengan murid yang berperan sebagai
pedagang, penjual. Dengan kegiatan ini suara, pilihan, dan kepemilikan murid
didorong. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak bersama tayangan video berikut ini.
https://www.youtube.com/watch?v=WCos-ElbEsA
Lingkungan yang
Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid
Sebagaimana
padi yang hanya akan tumbuh subur pada lingkungan yang sesuai, makakepemimpinan
murid pun akan tumbuh dengan lebih subur jika sekolah dapatmenyediakan
lingkungan yang cocok. Lingkungan yang menumbuhkembangkankepemimpinan murid
adalah lingkungan di mana guru, sekolah, orangtua, dan komunitassecara sadar
mengembangkan wellbeing atau kesejahteraan diri murid-muridnya secaraoptimal.
Noble
et al (2008) menjelaskan bahwa kesejahteraan siswa yang optimal adalah sebuahkeadaan
emosional yang berkelanjutan yang dicirikan dengan (terutama) suasana hatidan
sikap yang positif, hubungan positif dengan murid lain maupun guru, daya
lenting atauketangguhan, pengoptimalan kekuatan diri, serta tingkat kepuasan
yang tinggi terhadappengalaman belajar mereka di sekolah
Menyadur
apa yang disampaikan oleh Noble tersebut, maka lingkungan yangmenumbuhkembangkan
kepemimpinan murid akan memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah:
1.
Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola piker positif dan merasakan
emosi yang positif. Lingkungan yang seperti ini akan
membuatmurid mampu dan berkeinginan untuk melakukan hal-hal secara positif
untuk dirinyasendiri serta memberikan pengaruh positif kepada kehidupan orang
lain dansekelilingnya. Pola pikir positif ini didapatkan oleh murid melalui
pengalaman emosipositif dalam konteks sekolah, di mana murid bukan hanya merasa
aman, nyaman,dan merasa menjadi bagian dari komunitas sekolah, namun juga
didapat dariadanya keadaan di mana murid merasakan keselarasan antara kebutuhan
danharapannya terhadap sekolah dan lingkungannya dengan pengalaman belajaryang
didapatnya di sekolah. Lewat pengalaman emosi positif ini, murid akan mampumengembangkan
keterampilan inkuiri, menunjukkan sikap gembira, penuh syukur,saling
mengapresiasi. Mereka memiliki kesadaran diri, sikap optimis sehingga dapatberperan
aktif dan membuat perbedaan yang positif baik untuk dirinya sendiri, orang
lain, maupun lingkungan sekitarnya.
2.
Lingkungan yang mengembangkan keterampilan
berinteraksi sosial secara positif,arif dan bijaksana,
di mana murid akan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial positifyang berbasis
pada nilai-nilai kebajikan yang dibangun oleh sekolah. Di dalamlingkungan yang
seperti ini, nilai-nilai tersebut kemudian akan mewujud menjadiatmosfer sekolah
yang positif, di mana hubungan dan interaksi sosial yang terjalindi antara para
murid, guru, orang tua maupun seluruh komunitas yang terkaitakan terasa sangat
positif dan kontributif.
3.
Lingkungan yang melatih keterampilan
yang dibutuhkan murid dalam prosespencapaian tujuan
akademik maupun non-akademiknya. Lingkungan ini akan memungkinkan murid untuk
memiliki determinasi diri yang kuat dalam prosespembelajaran, baik dalam aspek
akademik maupun non-akademik. Dalamlingkungan ini, murid akan belajar tentang
nilai-nilai ketekunan serta kerja keras.Murid akan belajar untuk mampu melihat
sejauh mana kemajuan proses belajarnya.Murid mampu mengerjakan tugas sekolahnya
secara mandiri, memilikipemahaman yang benar dan cakap sehingga berhasil mencapai
tujuan yang telahditetapkan.
4.
Lingkungan yang melatih murid untuk menerima
dan memahami kekuatan diri, sesama, serta masyarakat dan
lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang seperti iniakan membantu murid untuk
dapat menerapkan dan mempergunakan apa yangmenjadi kekuatan dirinya dan memanfaatkan
serta menerapkannya dalam berbagai konteks yang berbeda-beda.
5.
Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan
dan menindaklanjuti tujuan, harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya
melampaui pemenuhan kepentingan individu, kelompok, maupun golongan.
Lingkungan
yang seperti ini akan memberikan kesempatan bagi murid untuk melihat dirinya
sebagai bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar di luar dirinya. Lingkungan ini
akan memberikan peluang bagi murid untuk belajar melalui pelayanan kepada masyarakat
dan komunitas di mana mereka akan dapat terus mengasah rasa kemanusiaan,
kepedulian, dan rasa cinta kasih.
6.
Lingkungan yang menempatkan
murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri.
Lingkungan yang seperti ini akan menyediakan berbagai kegiatan belajar yang
menarik, menantang, dan bermakna, di mana dalam prosesnya murid akan merasa
senang hati dan menikmati setiap momen pembelajarannya.
7.
Lingkungan yang menumbuhkan
daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus bangkit
di tengah kesempitan dan kesulitan. Lingkungan ini akan membantu murid untuk
berani menerima tantangan, berjiwa besar, dan selalu bangkit lagi dan berusaha
mencari solusi bila menemui kegagalan. Lingkungan ini akan memungkinkan murid
untuk selalu mengambil pelajaran dari setiap kegagalan- kegagalan yang dijumpainya
dan berusaha untuk menemukan cara-cara alternatif atau cara yang paling tepat. (disadur
dari Noble, T. & H. McGrath, 2016)
Dalam
rangka mewujudkan lingkungan belajar yang dapat menumbuhkan kepemimpinan murid,
maka guru dan sekolah tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Mereka akan memerlukan
dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari komunitas. Di dalam bahasan
selanjutnya di bawah ini, kita akan membahas bagaimana peran keterlibatan komunitas
dalam menumbuhkembangkan kepemimpinan murid.
Standar Pengelolaan Pendidikan
memberikan panduan tentang seperti apa budaya dan lingkungan sekolah yang harus
diciptakan dan dibangun. Standar Pengelolaan Pendidikan juga telah
mengamanatkan bahwa mutu program pembelajaran di sekolah harus dikembangkan, salah
satunya dengan cara melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis,
mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis.
Program
pembelajaran harus dilakukan dengan tujuan agar peserta didik mencapai pola
pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual
berupa berpikir, berargumentasi, mempertanyakan, mengkaji, menemukan, dan
memprediksi. Oleh karenanya, setiap guru perlu berusaha agar murid-muridnya dapat
meningkat rasa ingin tahunya, memiliki kemampuan mencari sumber informasi, menggunakan
pengetahuan untuk menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan pengetahuannya
kepada orang lain, serta mengembangkan kemampuan belajar mandiri dan kelompok.
Kemampuan-kemampuan tersebut tentunya tidak bisa tumbuh dengan sendirinya.
Untuk
mengembangkan semua hal tersebut, tentunya diperlukan lingkungan belajar yang mendukung.
Membangun 7 karakteristik lingkungan yang mengembangkan kesejahteraan diri (well-being)
seperti yang telah dijelaskan di atas sangat sejalan dengan upaya meningkatkan mutu
program pembelajaran. Lewat lingkungan yang mengembangkan kesejahteraan diri tersebut,
kepemimpinan murid diharapkan dapat tumbuh subur, Dapatkah Ibu/Bapak melihat keterkaitan
tersebut?
Peran
Keterlibatan Komunitas dalam Menumbuhkembangkan Kepemimpinan Murid.
Dalam
modul 3.2, Bapak dan Ibu sudah mempelajari bahwa salah satu dari tujuh aset/modal
yang dapat menjadi kekuatan sekolah yaitu aset sosial. Komunitas adalah bentuk
dari aset sosial yang dimiliki sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kualitas program/kegiatan pembelajaran di sekolah. Yang dimaksud dengan
komunitas di sini dapat terdiri dari murid, guru, orang tua, orang dewasa lain
yang ada di sekitar murid, dan masyarakat atau lingkungan sekitar, yang baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi proses belajar murid.
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sendiri, telah mengamanatkan
tentang pentingnya kemitraan antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat.
Kemitraan ini disebut dengan “Tri Sentra Pendidikan”. Kemitraan tri sentra pendidikan
adalah kerjasama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang
berlandaskan pada asas gotong royong, kesamaan kedudukan, saling percaya,
saling menghormati, dan kesediaan untuk berkorban dalam membangun ekosistem
pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budaya prestasi peserta didik. Melalui
pemberdayaan, pendayagunaan, dan kolaborasi tri sentra pendidikan ini, maka
keterlibatan yang bermakna dari orangtua dan anggota masyarakat dalam proses
pembelajaran menjadi fokus yang perlu terus diupayakan oleh sekolah.
Sebagai
pusat dari proses pendidikan, murid ‘berada’ dalam lintas komunitas. Mereka dapat
berada sekaligus pada:
a.
komunitas keluarga (anggotanya dapat terdiri orang tua, kakak, adik, pengasuh, dsb)
b.
komunitas kelas dan antar kelas (anggotanya dapat terdiri teman sesama murid, guru)
c.
komunitas sekolah (anggotanya dapat terdiri dari kepala sekolah, pustakawan, penjaga
sekolah, laboran, penjaga keamanan, tenaga kebersihan, petugas kantin,
dsb)
d.
komunitas sekitar sekolah (anggotanya dapat terdiri dari RT/RW, tokoh
masyarakat setempat, puskesmas, tokoh agama setempat, dsb)
e.
komunitas yang lebih luas. (anggotanya dapat terdiri dari organisasi
masyarakat,
dunia
usaha, media, universitas, DPR, dsb)
Semua
komunitas tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi proses pembelajaran
murid. Komunitas-komunitas tersebut merupakan aset sosial yang dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan kualitas program/kegiatan pembelajaran di sekolah,
termasuk dalam menumbuhkembangkan kepemimpinan
murid, yaitu dengan bersama- sama ikut mempromosikan dan mendorong ‘suara, pilihan,
kepemilikan’ murid dalam berbagai peran yang mereka mainkan dan interaksi
mereka dengan murid.
Bagaimana
kita dapat melibatkan masing-masing komunitas tersebut untuk membantu kita
mempromosikan dan mendorong ‘suara, pilihan, kepemilikan’ murid? Mari kita coba
bahas satu persatu.
a. Komunitas keluarga
Komunitas
yang pertama dan utama bagi murid adalah keluarga mereka. Murid mungkin akan
lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga mereka di rumah dibandingkan
di sekolah. Oleh karena itu, sebagai pendidik, kita harus berusaha mencari cara
bagaimana keluarga dapat ikut mengambil peran untuk ikut mendorong munculnya suara,
pilihan, dan kepemimpinan murid. Ini tentunya sejalan dengan apa yang disampaikan
oleh Ki Hajar Dewantara di bawah ini:
“Sesungguhnya
alam-keluarga itu bukannya pusat pendidikan individual saja, akan tetapi juga
suatu pusat untuk melakukan pendidikan sosial. Orangtua harus melakukan pendidikan
bersama dengan pusat-pusat pendidikan, dan terhubung dengan kaum guru dan
pengajar [Ki Hadjar Dewantara dalam Wasita, Tahun ke-1 No.3, Mei 1993]”
Beberapa
pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak ketika berpikir akan mendorong
keterlibatan mereka.
1.
Sejauh mana orang tua telah memahami visi dan misi sekolah kita terkait dengan upaya
kita menumbuhkan kepemimpinan murid? Apakah mereka memahami apa yang kita
maksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid (voice, choice, dan
ownership)?
Apa yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan pemahaman mereka?
2.
Sejauh mana orang tua telah memahami bahwa keluarga merupakan salah satu sentra
dari "tri sentra pendidikan"? Bagaimana memastikan visi keluarga
dapat menumbuhkan kepemimpinan murid? Bagaimana kita dapat memastikan bahwa visi
keluarga telah sinkron dengan visi sekolah?
3.
Apakah keterlibatan orangtua dalam program/kegiatan pembelajaran di kelas atau
sekolah kita selama ini telah mendorong dan menguatkan suara, pilihan, dan kepemilikan
murid, atau justru sebaliknya melemahkannya? (misalnya apakah orang tua justru
mengambil peran yang seharusnya dapat dilakukan oleh murid dengan dalih ‘ingin
membantu’?)
4.
Kesempatan-kesempatan apa sajakah yang telah kita berikan kepada orang tua untuk
terlibat dalam program/kegiatan pembelajaran (baik intra kurikuler, ko
kurikuler,
dan ekstra kurikuler) yang kita lakukan di kelas atau sekolah? Sejauh mana kesempatan
tersebut ditujukan untuk mendorong suara, pilihan, dan kepemilikan murid dan
membantu terwujudnya kepemimpinan murid?
5.
Apa yang sudah kita lakukan untuk membuat orangtua memahami apa yang
sedang
dilakukan oleh anak-anak mereka dalam program/kegiatan pembelajaran
yang
dilakukan di kelas atau sekolah? ( sehingga mereka dapat terlibat dalam
percakapan
atau komunikasi yang otentik dan relevan dengan anak-anak mereka
terkait
dengan apa yang sedang dipelajari oleh mereka di sekolah)
Kami
berharap, lewat beberapa pertanyaan di atas, Ibu/Bapak dapat lebih ‘mindful’
saat ingin melibatkan orang tua dalam proses/kegiatan pembelajaran di sekolah,
agar tujuan kita dalam mewujudkan kepemimpinan murid dapat tercapai.
Di
bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang dapat kita lakukan untuk
melibatkan keluarga dalam program/kegiatan pembelajaran murid untuk menumbuhkan
kepemimpinan murid.
Keluarga
●
Memastikan orang tua memahami bahwa keluarga merupakan bagian dari Tri
Sentra
Pendidikan. Ini dapat dilakukan misalnya dengan sosialisasi dan melibatkan
orang
tua dalam diskusi-diskusi terkait dengan program-program sekolah.
●
Memastikan orang tua memahami visi dan misi sekolah dalam mewujudkan
kepemimpinan
murid (misalnya dengan mengadakan pelatihan orang tua
tentang
apa yang dimaksud dengan suara, pilihan, dan kepemilikan murid lewat
forum
pertemuan orang tua dan berbagai kesempatan lainnya).
●
Secara aktif melibatkan orang tua untuk membantu menyediakan dukungan dan
akses
ke sumber-sumber belajar yang lebih luas untuk membantu mewujudkan
suara
atau pilihan murid (misalnya meminta bantuan orang tua untuk
mengkoneksikan
murid yang ingin mengakses masyarakat, lingkungan sekitar,
atau
dunia usaha atau akses-akses lain yang mungkin sulit untuk dijangkau murid
atau
sekolah, dsb).
●
Mengadakan workshop atau sesi-sesi informasi yang dapat membantu orang tua
memahami
pendekatan pembelajaran yang kita lakukan di sekolah (misalnya
melalui
pelatihan orangtua tentang cara bertanya kepada anak, tentang
bagaimana
berkomunikasi secara positif, tentang pentingnya ‘suara’, ‘pilihan’,
dan
‘kepemilikan’, dsb, sehingga mereka bisa ikut menerapkannya di rumah).
●
Mengadakan berbagai aktivitas yang memberikan kesempatan bagi murid untuk
menunjukkan
dan mendemonstrasikan hasil belajar atau pemahaman mereka
kepada
orang tua, dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa pencapaian,
kepercayaan
diri, kemandirian, dan berbagai sikap positif lainnya (misalnya
dengan
mengundang orang tua untuk menghadiri perayaan, eksibisi atau
pameran
hasil karya, assembly, pentas seni, dsb).
●
Mendorong orang tua untuk mengajak anak-anak mereka ke tempat-tempat
yang
dapat menumbuhkan rasa empati, mengekspos murid dalam kegiatan
pelayanan
kepada masyarakat, dsb.
●
Mendorong, mempromosikan dan mengapresiasi upaya orangtua dalam
membangun
kemandirian, resiliensi, dan tanggung jawab murid (misalnya
dengan
guru memberikan komentar positif di buku penghubung murid, dsb)
●
Melibatkan orang tua dalam kegiatan-kegiatan non akademis/bukan
pembelajaran
di kelas agar rasa kepemilikan lebih terbangun.
b. Komunitas kelas dan
antarkelas.
Komunitas
kelas dapat terdiri dari murid, guru, atau wali kelas, baik yang ada di kelas
murid sendiri maupun di kelas lainnya. Bagaimana guru menavigasi interaksi
mereka dengan murid dan interaksi antara murid dengan murid akan sangat
mempengaruhi bagaimana suara, pilihan dan kepemilikan murid dapat diwujudkan.
Oleh karenanya, peran Ibu/Bapak sangatlah besar disini.
Beberapa
pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk memikirkan tindakan
apa yang dapat dilakukan oleh Ibu/Bapak untuk mendorong dan mempromosikan
suara, pilihan dan kepemilikan murid di dalam kelas.
1.
Apa yang telah saya lakukan untuk mendorong inkuiri/rasa ingin tahu dan
kreativitas murid?
2.
Apakah saya telah memastikan murid memahami apa yang menjadi target dari
program/kegiatan
pembelajaran mereka? (sehingga murid dapat mengatur dirinya
sendiri
dan memantau upaya mereka dalam mencapai target tersebut)
3.
Apa yang telah saya lakukan untuk membantu murid membangun pemahaman
mereka
sendiri? Apakah saya selalu memberikan jawaban pada murid? Seberapa
sering
saya mengatakan “Ibu/Bapak juga belum mengetahui jawabannya. Mari kita
cari
bersama-sama!”
4.
Apakah saya memberikan ‘wait time’ atau waktu tunggu saat bertanya kepada
murid
untuk memberikan mereka kesempatan berpikir?
5.
Sejauh mana saya telah mengkoneksikan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari
murid?
6.
Seberapa sering saya mengajak murid-murid melakukan refleksi?
7.
Sudahkah saya bertanya tentang apa yang mereka ingin pelajari dan apa yang
mereka
minati?
8.
Sejauh mana saya memberi kesempatan murid untuk memilih cara, dengan siapa
dan
bagaimana mereka belajar?
9.
Apa yang telah saya lakukan untuk membawa murid keluar kelas/sekolah dan
mengkoneksikan
mereka dengan masyarakat dan dunia yang lebih luas?
Di
bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang mungkin dapat Ibu/Bapak
lakukan
untuk menumbuhkan kepemimpinan murid dalam lingkup kelas.
Komunitas
Kelas dan Antarkelas (anggotanya misalnya guru, kepala sekolah,
murid-murid)
●
Memfasilitasi kerja kelompok dan kolaborasi antar murid di kelas dan murid
antar
kelas
(misalnya memberikan tugas proyek yang harus dikerjakan bersama-sama,
dsb).
●
Mendorong murid untuk bertanya.
●
Melibatkan murid dalam proses perencanaan pembelajaran.
●
Melibatkan murid dalam proses penilaian.
●
Membentuk dewan murid, komite-komite yang dipimpin oleh murid, kepanitiaan
kegiatan
yang anggotanya adalah murid-murid.
●
Mendorong terciptanya unity (kebersamaan), yang dapat mempromosikan rasa
kepemilikan
murid (misalnya dengan mengadakan karnival olahraga, class
meeting,
dsb).
●
Memberikan kesempatan murid untuk terlibat dalam pengaturan prosedur,
rutinitas,
kesepakatan kelas, dsb.
●
Memberikan murid kesempatan untuk memberikan umpan balik dalam proses
pembelajaran.
c. Komunitas sekolah
Komunitas
sekolah di sini adalah pihak-pihak yang aktif berkegiatan di sekolah (mungkin tidak
berada di kelas setiap hari ), namun ada dalam hidup keseharian sekolah serta
murid-murid di sekolah. Kepala sekolah, konselor, staf administrasi, tukang
parkir, pustakawan, Ibu/Bapak kantin, penjaga sekolah, pengawas sekolah, komite
sekolah, anggota yayasan serta lainnya adalah contoh anggota komunitas sekolah.
Walaupun mereka tidak secara langsung mengajar murid di kelas atau terlibat
dalam program/kegiatan pembelajaran secara langsung setiap harinya, namun peran
dan apa yang mereka lakukan mempengaruhi proses belajar murid.
Mempertimbangkan
peran mereka dalam mendorong suara, pilihan dan kepemilikan murid akan membantu
kesuksesan upaya kita dalam menumbuhkan kepemimpinan murid.
Beberapa
pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk memikirkan bagaimana
Ibu/Bapak dapat melibatkan mereka dalam mempromosikan suara, pilihan dan
kepemilikan murid di dalam berbagai program/kegiatan pembelajaran di kelas dan
sekolah.
1.
Sejauh mana anggota komunitas sekolah (misalnya tukang parkir, satpam, penjaga kantin,
pustakawan, tenaga kebersihan) telah memahami visi dan misi sekolah kita terkait
dengan upaya kita menumbuhkan kepemimpinan murid? Apakah mereka memahami apa
yang kita maksud dengan suara, pilihan dan kepemilikan murid? mengapa pemahaman
mereka menjadi penting? Apa yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan
pemahaman mereka?
2.
Apakah saya mengetahui apa saja yang dapat pustakawan sekolah saya kontribusikan
untuk mendukung suara, pilihan, dan kepemilikan murid? Seberapa sering saya
mengajak pustakawan terlibat dalam proses perencanaan program/kegiatan
pembelajaran di kelas/sekolah saya?
3.
Bagaimana tenaga kependidikan, dari mulai tukang parkir, satpam, sampai
penjaga
kantin dapat saya dorong untuk membantu membangun lingkungan
belajar
yang positif dan menghargai suara, pilihan, dan kepemilikan murid?
4.
Bagaimana saya dapat melibatkan mereka untuk membantu mengoneksikan
murid-murid
saya dengan dunia di luar kelas mereka sehingga murid-murid dapat
memperluas
pembelajaran mereka dan mewujudkan suara serta pilihan mereka?
Di
bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang mungkin dapat Ibu/Bapak
lakukan
untuk melibatkan komunitas sekolah untuk membantu menumbuhkan
kepemimpinan
murid. Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh lainnya?
Komunitas
Sekolah (anggotanya misalnya tukang parkir, petugas TU, pustakawan,
laboran,
penjaga sekolah, petugas kantin, satpam, tenaga kebersihan, dsb)
●
Memastikan tenaga kependidikan yang ada di sekolah memahami visi dan misi
sekolah
dalam mewujudkan kepemimpinan murid (misalnya dengan
mensosialisasikan
visi, misi, kebijakan sekolah, program sekolah, dsb)
●
Mengundang pustakawan untuk ikut serta dalam perencanaan pembelajaran,
sehingga
mereka bisa membantu menyediakan akses ke sumber-sumber belajar
yang
sesuai.
●
Mendorong pustakawan untuk melibatkan murid dalam memberikan masukan
kepada
pustakawan terkait dengan koleksi sumber-sumber belajar apa saja
yang
murid perlukan.
●
Mendorong pustakawan untuk menyediakan beragam perspektif dalam
sumber-sumber
belajar yang mereka sediakan.
●
Mendorong pustakawan untuk menyediakan sumber belajar yang multimoda
agar
dapat mengakomodasi berbagai minat dan kebutuhan murid, dan agar
murid
memiliki pilihan.
●
Mendorong pustakawan untuk melibatkan murid dalam menentukan prosedur
yang
memungkinkan murid untuk mengatur dan menavigasi diri mereka secara
bebas
di dalam perpustakaan, namun tetap dengan bertanggung jawab.
●
Mendorong laboran untuk membuat prosedur keamanan dan keselamatan
yang
tetap memungkinkan murid untuk mandiri dan percaya diri dalam
melakukan
kegiatan.
●
Mendorong laboran untuk mempromosikan laboratorium sebagai salah satu
tempat
yang menarik dan menyenangkan bagi murid untuk mengembangkan
keterampilan
berpikir kritis dan kreatif.
●
Mengundang tenaga kebersihan, penjaga sekolah, petugas kantin, satpam,
dan
tenaga kependidikan lain untuk ikut berperan sesuai perannya di sekolah
dalam
berbagai kegiatan pembelajaran. (misalnya melibatkan mereka menjadi
pembicara
tamu di kelas, mengundang mereka dalam pertemuan-pertemuan
yang
terkait dengan bagaimana mereka dapat mendukung murid, dsb).
●
Mengadakan pelatihan bagi para staf pendukung tentang nilai-nilai dan
berbagai
pendekatan belajar yang dilakukan oleh sekolah, sehingga mereka
dapat
ikut memodelkan sikap dan perilaku sesuai dengan yang ingin kita
kembangkan
pada diri anak, dsb (misalnya pelatihan tentang perlindungan
anak,
pelatihan tentang protokol kesehatan, dsb)
d. Komunitas sekitar sekolah,
Komunitas
sekitar sekolah adalah komunitas yang berada di luar sekolah namun masih dalam
lingkup sekitar sekolah, atau yang dapat kita sebut sebagai masyarakat. Dalam komunitas
ini termasuk apa dan siapa pun yang berada dalam radius yang dekat dengan
sekolah,
misalkan: tempat ibadah, rumah sakit, warung, usaha di dekat sekolah, bisnis yang
terkait dengan operasional sekolah (provider ATK, dan lainnya), perusahaan di
mana orang tua bekerja, hingga keluarga besar dari tiap murid atau orang tua.
Mereka mungkin tampak tidak ada kaitannya dengan program/kegiatan pembelajaran
murid di kelas atau sekolah kita, namun memiliki potensi untuk mendorong suara,
pilihan, dan kepemilikan murid karena peranan yang dapat mereka mainkan.
Beberapa
pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk memikirkan bagaimana
melibatkan komunitas sekitar sekolah untuk membantu mempromosikan suara,
pilihan dan kepemilikan murid.
1.
Apakah saya mengetahui isu-isu yang sedang terjadi di dalam masyarakat yang ada
di sekitar sekolah? Bagaimana saya dapat mengetahuinya?
2.
Bagaimana saya dapat membawa isu-isu tersebut ke dalam kelas dan mentrasnformasikannya
menjadi wahana untuk mewujudkan suara, pilihan dan kepemilikan murid?
3.
Bagaimana saya dapat membuka ruang dialog dengan masyarakat sekitar sehingga
saya dapat mengomunikasikan harapan saya tentang kepemimpinan murid yang ingin
saya wujudkan di diri murid-murid saya?
Di
bawah ini adalah beberapa contoh strategi yang mungkin dapat Ibu/Bapak
lakukan
untuk melibatkan komunitas sekitar sekolah untuk membantu menumbuhkan kepemimpinan
murid. Dapatkah Ibu/Bapak memberikan contoh lainnya?
Komunitas
Sekitar Sekolah (anggotanya misalnya tokoh agama, RT/RW, puskesmas, RT/RW,
pasar, sekolah-sekolah yang ada di sekitar, dsb)
●
Mengajak murid untuk mengenal lingkungan sekitar sekolah mereka (melihat
masalah
lingkungan/sosial, mengunjungi RT, RW, kelurahan, dsb.) untuk memantik
rasa
penasaran dan pertanyaan para murid tentang konsep tertentu yang sedang
dipelajari
di kelas (misal: sistem pemerintahan, peran pemimpin daerah, dan
lainnya).
●
Melibatkan lingkungan sekitar dalam berbagai kegiatan pelayanan masyarakat
yang
digagas murid agar lingkungan juga dapat merasakan dampak dari
keberadaan
sekolah. (misalnya melakukan kegiatan pasar murah bagi penduduk
sekitar,
forum diskusi, dsb).
●
Mendorong kapasitas peran serta masyarakat sebagai bagian dari Tri Sentra
Pendidikan
dengan merancang berbagai kegiatan kolaborasi dan kerjasama
dengan
lingkungan sekitar, untuk membina hubungan baik dan agar tercipta rasa
saling
percaya, sehingga lingkungan dapat memberikan berbagai kemudahan
dan
dukungan bagi proses pembelajaran saat kita dan murid-murid perlukan
(misalnya:
menjadi bagian dari kepanitiaan kegiatan Idul Kurban di masjid sekitar
sekolah,
melakukan kegiatan kerja bakti bersama warga, mengundang Puskesmas untuk
menjadi sumber belajar murid untuk memberikan edukasi dan pelatihan-pelatihan
terkait bidang tugas kesehatan, sesekali mengundang RT/RW dalam kegiatan
sekolah, dsb).
●
Mengadakan pertemuan/forum antar kepala sekolah dan guru yang dapat meningkatkan
pemahaman dan keterampilan kepala sekolah dan guru, yang mendorong,
mempromosikan kepemimpinan murid, sehingga membuka kesempatan murid untuk
berkolaborasi lintas sekolah.
●
Mengadakan kegiatan perayaan bersama masyarakat sekitar. Misalnya seperti yang
ditunjukkan oleh SD Salam berikut ini, di mana murid-murid ikut berpartisipasi bersama
dengan masyarakat sekitar sekolah melakukan perayaan budaya “Panen Padi”.
Kegiatan lengkapnya dapat dilihat dari video berikut ini: Video Kegiatan
Wiwitan SD Salam
e. Komunitas yang lebih luas
Komunitas
yang terakhir adalah komunitas yang jauh dari sekolah namun berpeluang dan mampu
mempengaruhi sekolah. Media massa (lokal, nasional, regional, dunia), media sosial,
universitas, pemerintah (daerah, pusat), ormas, parpol, dunia usaha, dunia
industri, dan lainnya merupakan contoh dari komunitas yang lebih luas.
Walaupun
komunitas ini mungkin tidak langsung berinteraksi dengan murid-murid kita,
namun
keberadaan mereka mungkin dirasakan anak-anak atau mempengaruhi anak- anak.
Contoh, meskipun mereka tidak berinteraksi langsung dengan para youtuber, namun
apa yang dilakukan oleh youtuber dan pendapat-pendapat mereka mungkin mempengaruhi
anak-anak. Oleh karena itu, peran mereka dalam membantu mewujudkan kepemimpinan
murid yang mempromosikan suara, pilihan dan kepemilikan murid bisa menjadi
signifikan.
Beberapa
pertanyaan berikut mungkin dapat membantu Ibu/Bapak untuk secara kritis memikirkan
bagaimana dapat melibatkan komunitas yang lebih luas untuk membantu mempromosikan
suara, pilihan dan kepemilikan murid voice,
choice, dan ownership.
1.
Siapa sajakah yang termasuk dalam komunitas yang lebih luas ini? Bagaimana mereka
dapat secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh dalam program/kegiatan
pembelajaran di kelas/sekolah?
2.
Apakah memungkinkan bagi saya untuk melibatkan mereka secara langsung dalam
program/kegiatan pembelajaran yang saya lakukan di kelas/sekolah saya?
3.
Jika tidak memungkinkan mengundang dan melibatkan komunitas yang lebih luas ini
secara langsung dalam pembelajaran di kelas, bagaimana saya dapat memanfaatkan
konten atau produk, dari komunitas ini (misalnya berita terkini, artikel,
jurnal penelitian, peraturan, kebijakan) dan membawanya ke kelas/sekolah untuk
memunculkan inkuiri murid-murid saya?
4.
Komunikasi seperti apa yang harus saya lakukan untuk mendorong keterlibatan? Komunitas
yang Lebih Luas (misalnya media, dunia usaha, pemerintah, DPRD, universitas,
organisasi masyarakat, dsb)
●
Menggunakan artikel yang ada di media massa untuk memantik rasa ingin tahu
murid.
●
Melibatkan media untuk mengomunikasikan dan mempromosikan berbagai aksi
inisiatif murid yang berdampak bagi komunitas.
●
Menggunakan media dan teknologi untuk menghubungkan dan mengoneksikan
murid dengan dunia yang lebih luas (misalnya melakukan teleconference
dengan murid-murid lain di bagian dunia yang lain untuk mendiskusikan
berbagai isu dan perspektif, memberikan kesempatan pada murid
untuk menyampaikan pendapatnya di siaran radio).
●
Mengundang keterlibatan dunia usaha untuk menjadi tempat magang murid.
●
Mengadvokasi dunia usaha untuk menjadi ‘tempat belajar’ bagi murid untuk mengembangkan
berbagai keterampilan (misalnya di beberapa sekolah ada perusahaan
yang membangun bengkel kecil di sekolah untuk menjadi tempat belajar
siswa).
●
Melibatkan pemuka agama dan berbagai kegiatan keagamaan untuk mengembangkan
sikap toleransi dan keterbukaan perspektif.
●
Mendorong murid untuk menyuarakan pendapat, saran-saran, solusi dan menyalurkannya
kepada para pembuat keputusan dan kebijakan (misalnya mengirimkan
surat kepada para pembuat keputusan untuk menyampaikan alternatif
solusi permasalahan yang diberikan oleh murid, mengundang pembuat
kebijakan ke dalam forum diskusi dengan murid, dsb).
●
Mendorong kemitraan antara universitas dan sekolah (misalnya menindaklanjuti
ide-ide inovatif yang digagas murid untuk kemudian di riset lebih
jauh oleh universitas, mengundang universitas ikut serta bekerjasama dengan
sekolah mengembangkan program-program atau kegiatan sekolah melalui
penelitian-penelitian, mengundang universitas sebagai sumber belajar murid
sesuai dengan bidang keilmuan yang dibutuhkan murid dalam mengembangkan
kegiatannya.
●
Mengundang organisasi masyarakat ikut serta bekerja sama dengan sekolah menjadi
sumber belajar dan melatih keterampilan murid sesuai dengan kebutuhan
belajar murid (misalnya; organisasi kepemudaan, komunitas dongeng,
komunitas peduli sampah, komunitas peduli lingkungan, komunitas olah
raga, dll).
●
Menggunakan konten atau isu-isu yang sedang berkembang di media sosial untuk
dijadikan topik diskusi di kelas.
●
Dapatkan Ibu/Bapak memberikan contoh-contoh lainnya?
Komunitas-komunitas
yang mendukung kepemimpinan murid akan memahami bahwa sesungguhnya murid-murid
memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan. Mereka akan berusaha menciptakan
kesempatan-kesempatan yang mendorong tumbuhnya dan berkembangnya berbagai sikap
dan keterampilan-keterampilan penting dalam diri murid, misalnya sikap percaya
diri, mandiri, kreatif, gigih, keterampilan berpikir kritis, dalam berbagai
interaksi yang mereka lakukan dengan murid, sehingga murid akan senantiasa merasa
didukung, berdaya, dan memiliki efikasi diri yang tinggi.
Komunitas
memiliki peran penting dalam membantu mewujudkan lingkungan belajar yang
mendukung tumbuhnya kepemimpinan murid karena:
1.
membantu menyediakan kesempatan bagi murid untuk mewujudkan pilihan dan suara
mereka.
2.
membantu murid untuk belajar melihat dan merasakan dampak dari pilihan dan suara
yang dibuatnya.
3.
membantu membentuk identitas diri dan efikasi diri murid yang lebih kuat.
4.
membantu murid untuk dapat tumbuh menjadi agen perubahan yang dapat memberikan
kontribusi yang berarti terhadap diri sendiri, orang lain, masyarakat serta
lingkungan di sekitarnya.
Kita
dapat melibatkan lintas komunitas tersebut dalam proses pembelajaran murid.
Namun,
yang perlu diingat, jika kita ingin keterlibatan mereka dapat membantu mewujudkan
kepemimpinan murid, maka keterlibatan mereka harus dapat mendorong aspek suara,
pilihan dan kepemilikan murid. Jangan sampai keterlibatan komunitas justru membuat
ketiga aspek tersebut menjadi berkurang.
Untuk
dapat mempromosikan aspek suara, pilihan, dan kepemilikan murid, berikut adalah
beberapa prinsip yang dapat dijadikan panduan dalam membangun interaksi murid dengan
komunitas:
1.
Membangun suasana yang menghargai murid. Hal ini agar dalam interaksinya dengan
komunitas, murid akan senantiasa merasa disambut. dipercaya, dan aman secara fisik
dan emosional.
2.
Mendengarkan murid. Agar dapat tercipta sikap saling memahami dan saling percaya,
maka perlu ada upaya untuk mendengarkan murid dengan tulus dan penuh
perhatian. Terkadang mungkin tidak mudah melakukan hal ini karena tidak semua
anak-anak mampu mengekspresikan apa yang ada dipikirannya dengan jelas.
Perlu adanya kesabaran dan empati dari komunitas.
3.
Dialog atau komunikasi dengan murid. Saat membangun pemahaman, murid akan mengkonstruksi
pemahamannya melalui proses refleksi dari pengalaman interaksinya
dengan lingkungan dan orang-orang disekitarnya. Oleh karenanya, berkomunikasi
dengan murid secara demokratis dan setara menjadi penting.
Komunikasi
ini harus bersifat dua arah dan bersifat dialog dengan murid, dan bukan bersifat
orang dewasa yang ‘memberi perintah’ kepada murid. Dengan meluangkan
waktu untuk berdialog dan menanggapi gagasan murid tentang tindakan
mereka, akan membantu murid untuk sampai pada pemahaman.
4.
Menempatkan murid dalam kursi pengemudi. Dalam proses pembuatan keputusan, komunitas
dapat memberikan saran atau mendorong ide-ide murid, namun pada akhirnya perlu
memastikan bahwa murid lah yang akan mengambil keputusan.
Setelah
membaca materi di atas, kami berharap Ibu/Bapak mulai dapat memahami agar program
sekolah dapat berdampak positif pada murid, maka kita harus dapat meningkatkan
kesempatan untuk mendorong kepemimpinan murid di dalam setiap tahapan
pengelolaan program atau kegiatan (baik saat tahapan perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi program atau kegiatannya). Dan untuk dapat melakukan ini dengan
efektif, sekolah perlu mendorong keterlibatan komunitas
Mendorong
kepemimpinan murid akan memperbesar peluang kita untuk memberikan kesempatan
bagi murid-murid kita untuk belajar tentang berbagai keterampilan-keterampilan
penting, yang dapat digunakan lintas disiplin, dan akan berguna bagi kehidupannya
kelak. Keterampilan-keterampilan yang akan membantu mereka menjadi pembelajar
sepanjang hayat. Mendorong kepemimpinan murid juga akan menumbuhkan efikasi
diri yang kuat, sehingga diharapkan mereka akan percaya diri dan mampu membuat
perubahan positif bagi dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan di
sekitarnya.
Mereka
akan dapat tumbuh menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Standar Pengelolaan Pendidikan mengamanatkan
bahwa sekolah perlu melibatkan
warga
dan masyarakat pendukung sekolah dalam mengelola pendidikan. Setiap sekolah
juga diharapkan untuk menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang relevan, berkaitan
dengan input, proses, output, dan pemanfaatan lulusan. Menurut Ibu/Bapak, apakah
ada keterkaitan antara topik yang telah dijelaskan di atas dengan upaya pemenuhan
standar tersebut?