Monday, September 1, 2025

Kekuasaan Belanda di Indonesia (IPAS Bab II Kelas 6)

 Kekuasaan Belanda di Indonesia



Wilayah nusantara dikenal sebagai penghasil rempah-rempah sehingga menarik bangsa-bangsa Eropa untuk datang dan melakukan perdagangan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah nusantara.



Akan tetapi, hal tersebut juga menimbulkan dampak negatif bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa Eropa selain berdagang juga memiliki tujuan lain, salah satunya untuk menguasai wilayah penghasil rempah-rempah tersebut.



Bangsa yang menguasai wilayah Indonesia paling lama, yaitu bangsa Belanda. Bangsa Belanda melakukan penjajahan selama hampir 350 tahun. Berikut keberhasilan bangsa Belanda saat menjajah Indonesia.


 


Pembentukan VOC

VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dibentuk pada tahun 1602 yang merupakan perusahaan dagang Hindia Timur dan berkantor pusat di Amsterdam, Belanda.

Meskipun perusahaan dagang, namun VOC memiliki beberapa kewenangan istimewa, yaitu:

a.      Melakukan penebangan tanaman rempah-rempah milik rakyat dan memberikan hukuman pada rakyat Indonesia apabila melanggar aturan monopoli tersebut.

b.     VOC dapat mengeluarkan mata uang sendiri.

c.      Membentuk dan memiliki angkatan perang sendiri. 




 Cultuurstelsel (Tanam Paksa)

Setelah VOC dibubarkan, terjadi perlawanan dari rakyat Indonesia. Salah satunya, Perang Jawa yang berlangsung selama kurang lebih 5 tahun yang dimulai dari tahun 1825 - 1830. Perang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro ini menyebabkan pemerintah Belanda mengalami kerugian besar.



Untuk menutupi kerugian tersebut Belanda mengeluarkan aturan yang diberi nama cultuurstelsel atau tanam paksa.





Pemerintah Belanda melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat, seperti 1/5 tanah rakyat ditanami tanaman yang diwajibkan, gagal panen harus ditanggung petani, bagi yang tidak punya lahan pertanian harus bekerja lebih dari 65 hari. Hal tersebut tentu saja menjadikan rakyat Indonesia semakin menderita.

 

Politik Etis (Politik Balas Budi)

Politik etis timbul atas pemikiran sebagian masyarakat Belanda yang menganggap bahwa Belanda telah berhutang budi pada rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Belanda perlu memberikan peningkatan kesejahteraan pada rakyat Indonesia.

Politik etis digagas oleh Conrad Theodore van Deventer.

Politik ini dijalankan pada tahun 1890 dengan melakukan:

a. memberikan pendidikan pada rakyat pribumi;

b. membuat irigasi;

c. transmigrasi atau perpindahan penduduk.














Wednesday, July 16, 2025

Bahasa Indonesia Kurmer Kelas 6

 

Bab 1 Bangga Menjadi Anak Indonesia

Menyimak

Simak guru membacakan cerita tentang anak baru ini.



Aku Anak Indonesia

Hana melangkahkan kakinya dengan gelisah. Dia menendang-nendang kerikil yang ia temui sepanjang jalan. Raut mukanya tampak cemas. Ini adalah hari pertamanya masuk sekolah baru di Indonesia. Keluarganya baru saja pindah dari Kyoto, Jepang, tempat ayahnya menyelesaikan pendidikan doktor.

Sesampai di halaman sekolah yang rindang, Pak Rizal, ayahnya, menawari Hana untuk ikut menemaninya masuk ke kelas. Namun, Hana menolak. Meski khawatir, dia merasa malu kalau harus ditemani orang tuanya. Di Kyoto, dia bahkan sudah berangkat dan pulang sekolah sendiri sejak kelas 1 SD.

“Hana, kamu anak pemberani. Jangan khawatir, anak-anak Indonesia ramahramah. Mereka pasti akan senang punya teman baru,” kata ayahnya.

Hana mengangguk.

“Nanti Ayah akan datang lagi menjemputmu ya. Ayah perlu pergi dulu ke tukang cukur, rambut ayah sudah gondrong begini,” tambah ayahnya lagi sambil menepuk pundak Hana.

Jarak rumah Hana dengan SDN Gaharu hanya lima ratus meter, sehingga dia bisa berjalan kaki ke sekolah. Begitu masuk melewati gerbang sekolah, bel berdentang. Semua siswa berlarian masuk ke kelas masing-masing. Hana mencari kelas dengan lambang VI di atas pintu.

Begitu Hana masuk, Bu Pertiwi, guru kelas enam, menyambutnya dengan senyuman lebar.

“Ah, kamu pasti Hana. Ayo masuk. Ibu carikan tempat duduk dulu untuk meletakkan tasmu, lalu berkenalan dengan teman-teman sekelasmu.”

Hana mengangguk malu-malu. Dia merasa seluruh pasang mata di kelas ini sedang menatapnya. Dia mendengar bisik-bisik meski tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Dada Hana berdegup semakin kencang.

Bu Pertiwi menyilakan Hana untuk berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri.

“Selamat pagi teman-teman…” katanya mengawali perkenalan. Kemarin, Hana sudah berlatih di depan cermin agar dia tidak canggung mengucapkan kata-kata perkenalan dalam bahasa Indonesia.

“Tolong suaranya lebih keras lagi, biar semuanya bisa mendengar,” kata Bu Pertiwi.

“Nama saya Hana. Saya berusia dua belas tahun. Saya pindah dari Kyoto, Jepang. Ayah saya baru menamatkan kuliahnya di sana. Kami pindah ke kota ini karena ayah saya akan bekerja di sini. Saya senang berkenalan dengan teman-teman semua. Arigato. Eh, terima kasih.” Hana mengakhiri perkenalannya dengan menjura, membungkukkan badannya.

Ketika kembali berdiri tegak, ia melihat senyum terkembang dari teman-teman sekelasnya. Hana lega, kecemasannya berkurang.

“Terima kasih Hana. Ada yang ingin kalian tanyakan pada Hana?” ujar Bu Pertiwi.

Seorang anak laki-laki mengacungkan tangan. “Kamu asalnya dari mana? Oh ya, namaku Arjuna, biasa dipanggil Juna.”

Teman-teman yang lain bersorak, “Huuu…” Sepertinya Juna memang anak yang suka mencari perhatian. Hana bingung, bagaimana harus menjawab pertanyaan Juna. Di Jepang, dia dengan mudah menjawab bahwa dia berasal dari Indonesia. Tapi di Indonesia, dia harus menjawab apa?

“Saya berasal dari Indonesia…” kata Hana pelan dan ragu.

Teman-teman tertawa. Bu Pertiwi menengahi, “Mungkin maksud Arjuna, Hana lahir di mana?”

“Oh… saya lahir di Makassar.”

“Berarti kamu asli Makassar,” sahut Juna dari bangku paling belakang.

“Tapi… ayah saya berasal dari Padang dan ibu saya berasal dari Sunda,” tambah Hana, menyanggah ucapan Juna itu.

Bu Pertiwi angkat bicara, “Sekarang ini memang susah kalau ditanya asalnya atau aslinya dari mana, karena manusia semakin terhubung dan juga berpindah-pindah. Seperti Hana, misalnya, yang punya orang tua dari daerah dan suku yang berbeda. Yang jelas, Hana adalah anak Indonesia. Betul kan, Hana?” Hana mengangguk.

“Jadi, apa yang membuat kalian mengaku sebagai anak Indonesia?” tanya Bu Pertiwi ke seluruh kelas.

“Karena kita lahir di Indonesia,” jawab Salim sambil mengacungkan tangannya.

“Tapi ... adikku, Naomi, lahir di Kyoto dan dia tetap anak Indonesia,” sanggah Hana, yang mulai berani menyampaikan pendapatnya.

“Hana benar. Aku lahir di Berlin. Orang tuaku Jawa. Aku tetap anak Indonesia,” sahut Agni, gadis berkacamata yang duduk paling depan.

“Kalian sama-sama benar. Anak Indonesia adalah anak-anak yang lahir atau tinggal di Indonesia, atau anak-anak yang ayah ibunya atau salah satu orang tuanya orang Indonesia. Apalagi yang membuat kita Indonesia?” lanjut Bu Pertiwi.

“Karena kita bisa berbahasa Indonesia, Bu,” kata Melodi dengan nada bicara yang lembut. Hati Hana menciut. Dia merasa belum mahir benar berbahasa Indonesia. Di sekolah lamanya, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Jepang dan bahasa Inggris. Rupanya Bu Pertiwi melihat perubahan raut wajah Hana. Dia meminta Hana menjelaskan apa yang menjadi kekhawatirannya.

Setelah mendengar curahan hati Hana, Bu Pertiwi berusaha membesarkan hatinya. “Jangan khawatir. Dulu Agni ketika pindah ke kelas dua juga belum lancar berbahasa Indonesia. Tapi, bapak ibu guru dan semua teman ikut membantu. Sekarang, Agni sudah mahir berbahasa Indonesia dan bahkan buku kumpulan cerpennya baru saja terbit.”

Agni tampak tersipu.

“Jangan khawatir, Hana. Nanti aku juga bisa ajari kamu bahasa Jawa,” timpal Juna. Seketika teriakan “huuu ... ” kembali bergema.

Tiba-tiba Salim berteriak sambil menunjuk ke jendela. “Hantuuu!” Semua mata menoleh ke arah yang ditunjuk Salim. Hana melihat ada kepala botak yang muncul dan tenggelam dari balik jendela yang kusennya dipasang tinggi, khas arsitektur gedung peninggalan Belanda. Bu Pertiwi melangkah menuju pintu untuk melihat siapa yang ada di luar. Tidak mungkin ada hantu di siang bolong. Anak-anak ribut sambil menunjuk-nunjuk ke arah jendela. Ternyata itu adalah Pak Rizal, ayah Hana, yang rambutnya sudah habis tercukur.

“Maaf, Bu Pertiwi, saya mau menyusulkan oleh-oleh dari Jepang untuk temanteman Hana. Tadi tidak sempat terbawa Hana karena dia terburu-buru,” Pak Rizal berkata dari jendela.

Hana baru sadar bahwa dia melupakan cendera mata yang sudah dia siapkan untuk teman-teman barunya. Kelas kembali riuh. Hana mengedarkan kantungkantung berisi permen Wagashi dan sisir Tsuge, buah tangan khas dari Tokyo.

Hatinya menghangat karena teman-teman barunya memang ramah dan senang hati menerimanya sebagai penghuni kelas yang baru. Hana menyalami temannya satu per satu dan mencoba menghafalkan nama-nama mereka. Sampai di ujung kelas, siswa yang terakhir dia salami berkata, “Jangan sampai lupa, namaku Juna.”


Setelah menyimak, jawablah pertanyaan pada tautan berikut!

https://forms.gle/YZbNNjzQCETT65Qi8 


Tautan Soal Latihan

https://app.Lumi.education/run/vrogu4

 

 

Bahasa Inggris Kelas 6 Kurmer Fase (I studied last night, but my sister didn’t)

 

Bahasa Inggris Kelas 6 Kurmer Fase C

 

Unit

Objectives/

Language Focus

  1.  

I studied last

night, but my

sister didn’t

§  Students are able to say past activities.

§  • Students are able to identify past activities.

§  What did you do yesterday?

 

studied, watched, cooked,called, listened, played,danced, washed, talked,looked, visited, kicked,wrote, slept, read, went.

 

 


Risty Played Ball in the Garden

One day, Risti walked around the garden.

She sang a song.” La la la li li li...”

In the middle of garden, she met Kimi, the cat.

“Hi Kimi,” said Risti to Kimi.

“Miaw.. Hi Risti. What are you doing, here?” Kimi asked.

“I’m walking around the garden,” Risti said.

“How about playing ball with me? Would you?,” Kimi asked.

“OK. Let’s play ball,” Risti replied.

Finally, Kimi and Risti played ball together. They looked very happy.

 

“What did Risti do in the garden?”

Who did Risti meet in the garden?

What did Risty and Kimi do in the garden?

 



 

Look and say

 

Studied

 


watched TV

 

cooked

 

called

 

listened

 



played

danced

 

washed

 

talked

 

looked

 

visited

 

kicked

slept

 

wrote

 

read

 

went

painted




Wednesday, December 18, 2024

Modul 2.2.

Pembelajaran Sosial dan Emosional Pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat: 1. memahami, menghayati dan mengelola emosi (kesadaran diri) 2. menetapkan dan mencapai tujuan positif (manajemen diri) 3. merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial) 4. membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan membangun relasi) 2. membuat keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab) CASEL Singkatan dari Collaborative for Academic and Social Emotional Learning adalah sebuah kerangka pembelajaran sosial emosional yang didirikan tahun 1995 oleh sekelompok pendidik, psikolog, di antaranya Daniel Goleman (perintis konsep Kecerdasan Emosional) untuk mengupayakan pembelajaran 5 Kompetensi Sosial Emosional di pendidikan K - 12 Well-being Kesejahteraan psikologis; sebuah kondisi individu yang memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan dan mengelola lingkungan dengan baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. MIndfulness Kesadaran penuh, yaitu kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu (tanpa menghakimi) dan kebaikan Kompetensi Sosial dan Emosional Kompetensi yang berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mengenai aspek sosial dan emosional. Ada 5 kompetensi sosial dan emosional, yaitu : kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Kelima kompetensi sosial emosional ini ditemukan dalam program pengembangan anak dan remaja yang terbukti efektif untuk menumbuhkan kecerdasan emosional. Kesadaran diri Kemampuan untuk memahami perasaan, emosi, dan nilai-nilai diri sendiri, dan bagaimana pengaruhnya pada perilaku diri dalam berbagai situasi dan konteks kehidupan. Manajemen diri Kemampuan untuk mengelola emosi, pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi dan untuk mencapai tujuan dan aspirasi. Kesadaran sosial Kemampuan untuk memahami sudut pandang dan dapat berempati dengan orang lain termasuk mereka yang berasal dari latar belakang, budaya, dan konteks yang berbeda-beda. Keterampilan berelasi Kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan yang sehat dan suportif. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab Kemampuan untuk mengambil pilihan-pilihan membangun yang berdasar atas kepedulian, kapasitas dalam mempertimbangkan standar-standar etis dan rasa aman, dan untuk mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari bermacam-macam tindakan dan perilaku untuk kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, masyarakat, dan kelompok. Pengajaran KSE secara eksplisit Murid secara khusus memiliki kesempatan untuk menumbuhkan, melatih, dan merefleksikan kompetensi sosial dan emosional dengan cara yang sesuai dan selaras dengan perkembangan budaya Integrasi KSE dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik Tujuan Kompetensi Sosial dan Emosional diintegrasikan ke dalam konten pembelajaran dan strategi pembelajaran pada materi akademik, musik, seni, dan pendidikan jasmani Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah Lingkungan belajar di seluruh sekolah dan kelas mendukung pengembangan kompetensi sosial dan emosional, responsif secara budaya, dan berfokus pada upaya membangun hubungan dan komunitas Penguatan Kompetensi Sosial dan Emosional pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah (Adult SEL) Pendidik dan tenaga kependidikan memiliki kesempatan secara teratur untuk mengembangkan kompetensi sosial dan, emosional, dan budaya yang dimiliki, berkolaborasi satu sama lain, membangun hubungan saling percaya, dan memelihara komunitas yang erat

Wednesday, December 11, 2024

Materi Modul 1.1. CGP Pemikiran Pendidikan KHD

 

Asas Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalam memahami arti dan tujuan Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.

Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut KHD (2009), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya”

 

Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.

 

Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai bagian dari persatuan (rakyat). Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir atau batin tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri. Pendidikan menciptakan ruang bagi murid untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain (merdeka batin) dan menjadi mandiri (merdeka lahir). Kekuatan diri (kodrat) yang dimiliki, menuntun murid menjadi cakap mengatur hidupnya dengan tanpa terperintah oleh orang lain.




Dasar Dasar Pendidikan yang Menuntun

KHD menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.

 

Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani.  

Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.

 

Dalam proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak lain. Oleh sebab itu, tuntutan seorang guru mampu mengelola dirinya untuk hidup bersama dengan orang lain (menjadi manusia dan anggota masyarakat)

 

KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar.

 

Kekuatan sosio-kultural menjadi proses ‘menebalkan’ kekuatan kodrat anak yang masih samar-samar. Pendidikan bertujuan untuk menuntun (memfasilitasi/membantu) anak untuk menebalkan garis samar-samar agar dapat memperbaiki laku-nya untnuk menjadi manusia seutuhnya. Jadi anak bukan kertas kosong yang bisa digambar sesuai keinginan orang dewasa.


Kodrat Alam dan Kodrat Zaman

KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”

 

KHD mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut

 

“Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)

 

KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak sejatinya menuntut anak mencapai kekuatan kodratnya sesuai dengan alam dan zaman. Bila melihat dari kodrat zaman, pendidikan saat ini  menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad ke-21 sedangkan dalam memaknai kodrat alam maka konteks lokal sosial budaya murid di Indonesia Barat tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid di Indonesia Tengah atau Indonesia Timur.

 

Mengenai Pendidikan dengan perspektif global, KHD mengingatkan bahwa pengaruh dari luar tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal sosial budaya Indonesia. Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya yang ada di Indonesia. Kekuatan sosial budaya Indonesia yang beragam dapat menjadi kekuatan kodrat alam dan zaman dalam mendidik (menuntun kekuatan kodrat anak).

 

KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Artinya, cara belajar dan interaksi murid Abad ke-21, tentu sangat berbeda dengan para murid di pertengahan dan akhir abad ke-20. Kodrat alam Indonesia dengan memiliki 2 musim (musim hujan dan musim kemarau) serta bentangan alam mulai dari pesisir pantai hingga pegunungan memiliki keberagaman dalam memaknai dan menghayati hidup. Demikian pula dengan zaman yang terus berkembang dinamis mempengaruhi cara pendidik menuntun para murid.


Budi Pekerti

Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor).

 

Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga juga merupakan sebuah ekosistem kecil untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding dengan institusi pendidikan lainnya.

 

Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan, tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga juga dapat menjadi tempat untuk berinteraksi sosial antara kakak dan adik sehingga kemandirian dapat tercipta karena anak-anak saling belajar antara satu dengan yang lain dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, peran orang tua sebagai guru, penuntun, dan pemberi teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan karakter baik anak.

 

Budi Pekerti merupakan keselarasan (keseimbangan) hidup antara cipta, rasa, karsa dan karya. Keselarasan hidup anak dilatih melalui pemahaman kesadaran diri yang baik tentang kekuatan dirinya kemudian dilatih mengelola diri agar mampu memiliki kesadaran sosial bahwa ia tidak hidup sendiri dalam relasi sosialnya sehingga ketika membuat sebuah keputusan yang bertanggungjawab dalam kemerdekaan dirinya dan kemerdekaan orang lain. Budi Pekerti melatih anak untuk memiliki kesadaran diri yang utuh untuk menjadi dirinya (kemerdekaan diri) dan kemerdekaan orang lain.   


Dasar Dasar Pendidikan

 

1. Arti dan Masksud Pendidikan

 

Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersama sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.

 


Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas.

 

Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat- syarat dan alat-alat dalam soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama. Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’.

Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.

 

2. Hanya Tuntunan dalam Hidup

Pertama kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.

Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan- kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.

 

Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain sebagainya.

 

Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti kodrat-iradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil.

 

Demikianlah pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.

 

3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?

Meskpun pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya.

 

Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-orang jahat.

 

Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat.

 

Menurut ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi,

hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu.

Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh- kembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan.

 

Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.

 

4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan

Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan.

 

Pertama, yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hamper tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.

Kedua, ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak.

Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negative menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruh- pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.

 

Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai

menjadi tebal, bahkan makin suram.

 

5. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah

Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup.

Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga

menjadi orang dewasa.

Seringkali anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan

 

berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut.

Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri.

 

Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan

sendiri.

 

6. Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti

Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannnya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan.

 

Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiat- tabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu.

 

Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas hukum kebatinan), aka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi.

 

Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika.

Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.

 

Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiran- perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga.

 

Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah

Bersatu dengan jiwa.

 

7. Jenis-Jenis Budi Pekerti

Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama.

Jadi, sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama. Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis (typen), sehingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat watak orang secara umum.

Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut berdasarkan pada sifat angan-angan, sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis). kemudian, tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang.

Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan hasrat seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat rang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale mensch).

 

Selain dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari Imam Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budi-pekerti orang dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yang besar ini (Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen (Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri, atau yang memandang ke arah luar, dan demikianlah seterusnya.

 

Dalam soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna kulitnya, pendek-tingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.

 

8. Naluri Pendidikan

Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur.

 

Berlakunya pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort).

Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik.

Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tida berdasarkan pengetahuan.

Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar (eenzijdig).

 

9. Syarat-Syarat Pengetahuan

Pendidikan yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan “Ilmu Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan (hulpwetenschappen), yang terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu:

 

1. Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie);

2. Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie);

3. Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral);

4. Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika);

5. Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan)

Untuk memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita dapat mengadakan perbandingan antara keadaan seorang ‘juru didik’ dengan tukang pengukir kayu. Seorang pengukir kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas tentang hakikat atau keadaan kayu. Maksudnya, ia harus tahu ilmu kayu (lihat no.1 dan no.2 diatas). Pengukir wajib mengetahui jenis kayu yang keras dan yang tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran yang halus atau yang kasar, begitu seterusnya. Karena pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara manusia mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada dua macam, yaitu Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani (fysionlogie), seperti tersebut pada no.1 dan no.2.

Seorang pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiran- ukiran) yang baik, harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no.3 dan no.4)

 

Akhirnya, seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang bagus kalau ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.

 

Dengan mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu memberikan keterangan sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat membuat keterangan sendiri yang panjang, lebar dan terang.

 

10. Peralatan Pendidikan

 

Yang dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni cara- cara mendidik. Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam banyaknya, akan tetapi pada dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut:

1. Memberi contoh (voorbeld);

2. Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)

3. Pengajaran (wulang-wuruk, leering)

4. Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);

5. Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);

6. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).

 

Cara-cara tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik dari pihak vrije opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat nomor 4 (perintah, paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara saja dan pada umumnya disesuaikan dengan keadaan-keadaan tertentu, misalnya disesuaikan dengan umur anak-anak didik.

 

11. Hubungan dengan Umur

Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa ketiga (14-21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).

Apabila alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan dengan umur anak-anak, maka berikut dapat disajikan penggunaan cara sesuai dengan umur tersebut:

a) Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;

b) Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;

c) Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6.

 

 

Lampiran 2. Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak. Wasita, Jilid No.1 Oktober 1928

 

Metode Montesori, Frobel dan Taman Anak Permainan Anak Adalah Pendidikan

 

Barangkali pembaca sudah pernah mendengar, bahwa dalam Taman

Siswa diadakan kelompok Taman Anak, yang di HIS sama dengan Voorklas, Kelas 1, II dan III. Sementara, kelompok yang kedua dinamakan Lagere School (Taman Muda), yaitu mulai kelas 4 sampai 7 jika menurut aturan HIS.

Kedua kelompok tersebut mempunyai ketua sendiri-sendiri,. Metode pengajaran yang digunakan pada keduanya juga berdea. Umpanyanya, pengajar di Taman Anak semunya adlaah guru wanita (sontrang/mentrik).

Sebab, rasa batin anak kecil (kecintaan, tasa takut, bangga, manja) masih tertuju kepada Ibunya sehingga anak-anak tersebut masih sehati dengan pendidik wanita. Adapun pada HIS kelas yang tinggi, anak-anak kebanyakan sudah berlagak seperti laki-laki dewasa dan suka bergaul dengan bapaknya.

Oleh karena itu, mereka harus dididik oleh guru laki-laki. Selain itu, mata pelajaran di Taman Anak tersebut dikonsentrasikan pada pelajaran Latihan panca indra. Sebab, mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberikan pengetahuan, akan tetapi baru berusaha akan

menyempurnakan rasa pikiran. Segala tenaga dan tingkah laku lahir yang mereka miliki sebenarnya besar pengaruhnya bagi kehidupan batin mereka dan demikian pula sebaliknya. Jalan perantaraan Pendidikan lahir ke dalam batinnya tesebut adlaah melalui paca indra. Maka dari tiu, Latihan paca indra adalah pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dan lain-lain)

Di Eropa, metode pengajaran seperti itu juga diakui. Orang yang pertama mendidik anak dnegna cara demikian ialah sang pujangga pendidik, Dr. Frobel. Selain itu, juga ada sang pujangg wanita, yakni Dr. Maria Montessori di kota Roma (Italia). Metode Frobel dan Montessori in mempunyai perbedaan yang cukup besar, tetapi ini yang dimiliki sebenarnya sama, yaitu mencari jalan lahir untuk mendidik batin.

Mari kita Kembali ke pembahasan tentang ‘Taman Anak’ di Yogyakarta. Dalam proses pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan pada pelajaran (latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga dimasukkan pada pembelajaran di sekolah sebagai kultur. Kita tidak dapat membandingkan metode Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang pengaruh tenaga lahir pada batin seperti berikut:

 

a. Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan.

b. Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya, tetapi yang diutamakan adlah permainan anak- anak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah.

c. Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu

dianggap satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak.

 

Beberapa contoh dapat disebutkan, misalnya permainan anak Jawa seperti: sumbar, gateng, dan unclang ang mendidik anak agar saksama (titi paritis), cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain-lain. Kemudian juga permainan seperti: dakon, cublak-cubak suweng dan kubuk yang mendidik anak tentang pengertian perhitungan dan perkiraan (taksiran). selain itu, permainan gobag, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan si, jamuran, jelungan, dan lain-lain.nya yang bersifat olahraga yang tentunya akan mendidik anak dalam hal: kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan dan keberanian, ketajaman dalam penglihatan dan lain-lain ada juga permaianan seperti: mengutas bunga (ngronce), menyulam daun pisang atau janur, atau membuat tikar, dan pekerjaan anak lainna yang dapat menjadikan mereka memiliki sikanp tertib dan teratur.

Melihat kondisi anak kita sendiri seperti yang dtelah dijelaskan diatas, sudah barang tentu bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis

metode Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi). Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode Among Siswa.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa kita tidak perlu mengadakan barang tiruan jika memang kitas dudah mempunyai barang tersebtu sendiri.

Sebagab, barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang munri seperti kepunyaan sendiri. Kain cap meskipun indah rupanya, tetapi derajatnya dibawah kain batik. Yang boleh kita pakai sebagai alat penghidupan yaitu barang-barang yang tidak kita miliki. Namun, waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu.

Maksdunya, disesuaikan dengan rasa kita dan keadaan hidup kita. Inilah yang dinamakan “menasionalisasikan”.

Penjelasan singkat tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan juga tentang asas-asasnya ‘Taman Anak’ dala Taman Siswa yang disesuaikan dengan metode Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum pendidik dan ibu-ibu dapat mengadakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa kita.