Asas Pendidikan Ki Hadjar
Dewantara
Ki
Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalam memahami
arti dan tujuan Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian
dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau
berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin.
Sedangkan
Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang
dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota
masyarakat. Jadi menurut KHD (2009), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha
persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam
hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya”
Pendidikan
adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki
keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka
pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat
menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat
diteruskan atau diwariskan.
Maksud pengajaran dan pendidikan yang
berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai bagian
dari persatuan (rakyat). Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya lahir
atau batin tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi bersandar atas
kekuatan sendiri. Pendidikan menciptakan ruang bagi murid untuk bertumbuh
secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain (merdeka batin) dan
menjadi mandiri (merdeka lahir). Kekuatan diri (kodrat) yang dimiliki, menuntun
murid menjadi cakap mengatur hidupnya dengan tanpa terperintah oleh orang lain.
Dasar Dasar Pendidikan yang
Menuntun
KHD
menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh
sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya)
hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Dalam
menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik
seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan
yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang
telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila
biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari
dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang
kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan
perawatan dari pak tani.
Demikian
sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik
namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya
matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh
namun tidak akan optimal.
Dalam
proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam
memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan
dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan
kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan
dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak lain. Oleh sebab itu, tuntutan
seorang guru mampu mengelola dirinya untuk hidup bersama dengan orang lain
(menjadi manusia dan anggota masyarakat)
KHD
juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap waspada
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “waspadalah, carilah barang-barang
yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur
lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut
dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai simbol dari
tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi pertimbangan
bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat dijadikan
sebagai sumber belajar.
Kekuatan
sosio-kultural menjadi proses ‘menebalkan’ kekuatan kodrat anak yang masih
samar-samar. Pendidikan bertujuan untuk menuntun (memfasilitasi/membantu) anak
untuk menebalkan garis samar-samar agar dapat memperbaiki laku-nya untnuk
menjadi manusia seutuhnya. Jadi anak bukan kertas kosong yang bisa digambar
sesuai keinginan orang dewasa.
Kodrat Alam
dan Kodrat Zaman
KHD
menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan
kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di
mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”
KHD
mengelaborasi Pendidikan terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut
“Dalam
melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala
kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup
kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang
berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara itu,
segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan
penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan
dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan
dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)
KHD
hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak sejatinya menuntut anak
mencapai kekuatan kodratnya sesuai dengan alam dan zaman. Bila melihat dari
kodrat zaman, pendidikan saat ini
menekankan pada kemampuan anak untuk memiliki Keterampilan Abad ke-21
sedangkan dalam memaknai kodrat alam maka konteks lokal sosial budaya murid di
Indonesia Barat tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan murid di
Indonesia Tengah atau Indonesia Timur.
Mengenai
Pendidikan dengan perspektif global, KHD mengingatkan bahwa pengaruh dari luar
tetap harus disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal sosial budaya
Indonesia. Oleh sebab itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah
muatan atau konten pengetahuan yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan konteks sosial budaya yang ada di Indonesia.
Kekuatan sosial budaya Indonesia yang beragam dapat menjadi kekuatan kodrat
alam dan zaman dalam mendidik (menuntun kekuatan kodrat anak).
KHD
menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan
tuntutan alam dan zamannya sendiri. Artinya, cara belajar dan interaksi murid
Abad ke-21, tentu sangat berbeda dengan para murid di pertengahan dan akhir
abad ke-20. Kodrat alam Indonesia dengan memiliki 2 musim (musim hujan dan
musim kemarau) serta bentangan alam mulai dari pesisir pantai hingga pegunungan
memiliki keberagaman dalam memaknai dan menghayati hidup. Demikian pula dengan
zaman yang terus berkembang dinamis mempengaruhi cara pendidik menuntun para
murid.
Budi Pekerti
Menurut
KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak
pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi
pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa
(afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor).
Lebih
lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik
untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Keluarga
merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih
kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga juga merupakan
sebuah ekosistem kecil untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat
dibanding dengan institusi pendidikan lainnya.
Alam
keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan, tuntunan, pengajaran
dari orang tua. Keluarga juga dapat menjadi tempat untuk berinteraksi sosial
antara kakak dan adik sehingga kemandirian dapat tercipta karena anak-anak
saling belajar antara satu dengan yang lain dalam menyelesaikan persoalan yang
mereka hadapi. Oleh sebab itu, peran orang tua sebagai guru, penuntun, dan
pemberi teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan karakter baik anak.
Budi
Pekerti merupakan keselarasan (keseimbangan) hidup antara cipta, rasa, karsa
dan karya. Keselarasan hidup anak dilatih melalui pemahaman kesadaran diri yang
baik tentang kekuatan dirinya kemudian dilatih mengelola diri agar mampu
memiliki kesadaran sosial bahwa ia tidak hidup sendiri dalam relasi sosialnya
sehingga ketika membuat sebuah keputusan yang bertanggungjawab dalam kemerdekaan
dirinya dan kemerdekaan orang lain. Budi Pekerti melatih anak untuk memiliki
kesadaran diri yang utuh untuk menjadi dirinya (kemerdekaan diri) dan
kemerdekaan orang lain.
Dasar Dasar
Pendidikan
1.
Arti dan Masksud Pendidikan
Kata
‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai bersama sama. Sebenarnya
gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah,
pembaca yang terhormat, bahwa sebenarnya yang dinamakan ‘pengajaran’
(onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya,
pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau
berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin.
Sekarang
saya akan menerangkan arti dan maksud pendidikan (opvoeding) pada umumnya.
Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti
khususnya, pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa
tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai
maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara
mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan
menerangkan secara lebih luas.
Walaupun
bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat- syarat dan alat-alat dalam
soal pendidikan, pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang
beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama. Menurut pengertian
umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis pendidikan
itu, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’.
Maksud
Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai
manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama
kali harus diingat, bahwa pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di
luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk,
manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya
sendiri.
Seperti
penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu’
tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir
dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik hanya dapat
menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan- kekuatan itu, agar dapat memperbaiki
lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian
tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya dengan hidup
tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya dengan
seorang pendidik) yang menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya
padi, ia dapat memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk
dan air, membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi
dan lain sebagainya.
Meskipun
pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak dapat mengganti
kodrat-iradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya
itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat memelihara tanaman
padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai atau tanaman lainnya.
Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang ditanam, bahkan ia dapat
juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar daripada tanaman yang tidak dipelihara,
tetapi mengganti kodrat padi itu tetap mustahil.
Demikianlah
pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan tetapi faedahnya bagi
hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.
3. Perlukah Tuntunan Pendidikan
itu?
Meskpun
pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi
perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya
setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu
mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya.
Anak
yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan pendidikan,
tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan
tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang
lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas
dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya,
tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang-orang
jahat.
Pengaruh-pengaruh
yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak.
Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga
ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga
dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan
budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh
yang jahat.
Menurut
ilmu pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya
‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi,
hingga
garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi
satu.
Mengenai
perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu
tidaknya pemeliharaan pada tumbuh- kembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir
jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan
mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan
menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan
keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak
mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya
baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan.
Sebaliknya
kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan
pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat
tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan
Pendidikan
Yang
dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli menurut
kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri. Dengan kata
lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar
jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan
soal daya Pendidikan.
Pertama,
yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum
ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut
kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak
atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan
lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini
merupakan aliran lama yang sekarang hamper tidak diakui kebenarannya di
kalangan kaum cendikiawan.
Kedua,
ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai
kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga pendidikan dari siapapun tidak
mungkin dapat mengubah karakter anak.
Pendidikan
hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh pengaruh yang jahat tidak
mendekati diri anak. Jadi, aliran negative menganggap bahwa pendidikan hanya dapat
menolak pengaruh- pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak
ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga,
ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie. Teori ini
mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang
sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut
menurut aliran ini, pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala
tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti
yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar
jangan sampai
menjadi
tebal, bahkan makin suram.
5. Tabiat yang Dapat dan yang
Tidak Dapat Berubah
Menurut
convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan
angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh
pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian
yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan
tidak dapat berubah lagi selama hidup.
Yang
disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan
pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan
sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang
dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat
berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di
dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa
egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu
tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga
menjadi
orang dewasa.
Seringkali
anak yang penakut, sesudah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang
rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan
berubah
menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak
nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut
mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya
untuk tidak takut.
Hal
inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena
ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut
terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika
pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja,
maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri.
Demikian
pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan
sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat
menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam
keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan
muncul dengan
sendiri.
6. Perlunya Menguasai Diri dalam
Pendidikan Budi Pekerti
Watak
bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita
juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena
pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharusnya berbudi dermawan. Namun
demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan
selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan
terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannnya yang baik). Semasa ia tidak
sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu
kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang
yang memang berdasar watak dermawan.
Janganlah
pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiat- tabiat yang biologis (hidup
perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible
(hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak
baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara
tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat
biologis yang tidak baik itu.
Jadi,
kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat
mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan
kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas hukum
kebatinan), aka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang
asli dan biologis tadi.
Oleh
karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching)
merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’
(adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau
etika.
Kita
sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’ atau ‘watak’ diartikan sebagai
bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu
jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti
akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan
dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan
pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang
yang satu dengan yang lainnya.
Budi
pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran,
perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui
bahwa budi berarti pikiran- perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya
‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan
hingga menjelma sebagai tenaga.
Dengan
adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia, dengan dasar-dasar
yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti neutraliseeren
(menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat
lenyap sama sekali karena sudah
Bersatu
dengan jiwa.
7. Jenis-Jenis Budi Pekerti
Setelah
kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat
kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui pula
bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama.
Jadi,
sama keadaanya dengan roman muka manusia, tidak ada dua orang yang sama.
Meskipun, orang dapat membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau
jenis (typen), sehingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau
sifat-sifat watak orang secara umum.
Pembagian
budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut berdasarkan pada sifat angan-angan,
sifat perasaaan, dan sifat kemauan (analystis). kemudian, tiga sifat itu
digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu macam atau tipe
budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti yang terkenal
disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar Universitas Groningen,
yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan dan ditetapkan adanya 8
jenis budi pekerti orang.
Ada
pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan hasrat
seseorang. Jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara global
dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi pekerti
menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat rang pada: 1. Kekuasaan (machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan
(kunstmensch), 4. Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan
atau kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale
mensch).
Selain
dua macam pembagian tersebut terdapat pula teori-teori tentang jenis-jenis budi
pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang dengan watak
orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari Imam Syafi’i.
kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budi-pekerti orang dengan
melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat pemandangan,
atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yang besar ini (Adler,
Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen (Jung),
yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinnya sendiri, atau yang
memandang ke arah luar, dan demikianlah seterusnya.
Dalam
soal watak atau budi pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia
mendapat pengaruh dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula
dengan menurunnya sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman
muka, rambutnya, warna kulitnya, pendek-tingginya badan, dan lain-lain). Jangan
dilupakan juga bahwa seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan
segala pengalaman tersebut berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.
8. Naluri Pendidikan
Setelah
ikhtisar arti, maksud, dan tujuan pendidikan dijelaskan pada uraian sebelumnya,
sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusus: untuk permulaan mengenai
syarat-syarat dan alat-alat dalam pendidikan yang teratur. Disebut ‘yang
teratur’, sebab pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan
cara yang tidak teratur.
Berlakunya
pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya
paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk
mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan
pula oleh adanya naluri yang pokok (oerinstinct), yang bertujuan agar terwujudnya
keberlangsungan keturunan (ngudhi-tuwuh), behoud van de sort).
Pendidikan
yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anak-anaknya, pada umumnya hanya
berdasarkan pada cara-kebiasaan (taditie, sleur) dan seringkali dipengaruhi
oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik.
Dengan
kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan,
maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni
tida berdasarkan pengetahuan.
Andaikata
ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti
kurang luar (eenzijdig).
9. Syarat-Syarat Pengetahuan
Pendidikan
yang teratur yaitu pendidikan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dinamakan
“Ilmu Pendidikan”. Ilmu ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi masih
berhubungan ilmu-ilmu lainnya, yang dinamakan ilmu syarat-syarat pendidikan
(hulpwetenschappen), yang terbagi menjajdi 5 jenis, yaitu:
1.
Ilmu hidup batin manusia (ilmu jiwa, psychologie);
2.
Ilmu hidup jasmani manusia (fysiologie);
3.
Ilmu keadaan atau kesopanan (etika atau moral);
4.
Ilmu keindahan atau ketertiban-lahir (estetika);
5.
Ilmu tambo Pendidikan (ikhtisar cara-cara Pendidikan)
Untuk
memahami perlunya mempunyai 5 jenis pengetahuan tersebut, kita dapat mengadakan
perbandingan antara keadaan seorang ‘juru didik’ dengan tukang pengukir kayu.
Seorang pengukir kayu tentu wajib mempunyai pengetahuan yang dalam dan luas
tentang hakikat atau keadaan kayu. Maksudnya, ia harus tahu ilmu kayu (lihat
no.1 dan no.2 diatas). Pengukir wajib mengetahui jenis kayu yang keras dan yang
tidak keras, yang boleh dipergunakan untuk ukiran yang halus atau yang kasar, begitu
seterusnya. Karena pendidikan itu ‘mengukir’ manusia, sementara manusia
mempunyai hidup lahir dan batin, maka ilmu kemanusiaan itu ada dua macam, yaitu
Ilmu Jiwa (psychologie) dan Ilmu Hidup Jasmani (fysionlogie), seperti tersebut
pada no.1 dan no.2.
Seorang
pengukir kayu yang hendak mewujudkan pekerjaan (ukiran- ukiran) yang baik,
harus mengerti tentang keindahan-keindahan ukiran. Bagi seorang pendidik sama
halnya harus mengerti tentang keindahan-keindahan batin dan lahir (etika dan
estetika), karena manusia itu bersifat batin dan lahir (lihat no.3 dan no.4)
Akhirnya,
seorang pengukir kayu dapat menghasilkan karya ukiran-ukiran yang bagus kalau
ia mempunyai pengetahuan tentang beragam jenis ukiran dari pengukir-pengukir
lainya, baik zaman sekarang maupun zaman dahulu, di negerinya sendiri atau di
negeri asing. Itulah ilmu ‘tambo pendidikan’ bagi kaum Pendidik.
Dengan
mengadakan perbandingan tersebut, maka kita tidak perlu memberikan keterangan
sendiri secara luas, karena setiap pembaca dapat membuat keterangan sendiri
yang panjang, lebar dan terang.
10. Peralatan Pendidikan
Yang
dimaksud dengan ‘peralatan’ adalah alat-alat pokok, yakni cara- cara mendidik.
Perlu diketahui bahwa cara-cara mendidik beragam banyaknya, akan tetapi pada
dasarnya cara tersebut dapat dibagi seperti berikut:
1.
Memberi contoh (voorbeld);
2.
Pembiasaan (pakulinan, gewoontervorming)
3.
Pengajaran (wulang-wuruk, leering)
4.
Perintah, paksaan dan hukuman (regearing en tucht);
5.
Tindakan (laku, zelfberheersching, zelfdiscipline);
6.
Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa, beleving).
Cara-cara
tersebut tidak perlu dilakukan semuanya, bahkan ada kaum pendidik yang tidak
sepakat dengan salah satu cara. Misalnya, para pendidik dari pihak vrije
opvoeding (Pendidikan bebas), tidak suka memakai alat nomor 4 (perintah,
paksaan, hukuman). Seringkali pendidik menggunakan salah satu cara saja dan
pada umumnya disesuaikan dengan keadaan-keadaan tertentu, misalnya disesuaikan
dengan umur anak-anak didik.
11. Hubungan dengan Umur
Untuk
keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari
7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa
kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa
pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa ketiga (14-21
tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).
Apabila
alat-alat atau cara-cara Pendidikan di atas dihubungkan dengan umur anak-anak,
maka berikut dapat disajikan penggunaan cara sesuai dengan umur tersebut:
a)
Masa kanak-kanak: cara no.1 dan no.2;
b)
Masa ke-2: cara no. 3 dan no. 4;
c)
Masa ke-3: cara no. 5 dan no.6.
Lampiran 2. Metode Montesori,
Frobel dan Taman Anak. Wasita, Jilid No.1 Oktober 1928
Metode Montesori, Frobel dan
Taman Anak Permainan Anak Adalah Pendidikan
Barangkali
pembaca sudah pernah mendengar, bahwa dalam Taman
Siswa
diadakan kelompok Taman Anak, yang di HIS sama dengan Voorklas, Kelas 1, II dan
III. Sementara, kelompok yang kedua dinamakan Lagere School (Taman Muda), yaitu
mulai kelas 4 sampai 7 jika menurut aturan HIS.
Kedua
kelompok tersebut mempunyai ketua sendiri-sendiri,. Metode pengajaran yang
digunakan pada keduanya juga berdea. Umpanyanya, pengajar di Taman Anak semunya
adlaah guru wanita (sontrang/mentrik).
Sebab,
rasa batin anak kecil (kecintaan, tasa takut, bangga, manja) masih tertuju
kepada Ibunya sehingga anak-anak tersebut masih sehati dengan pendidik wanita.
Adapun pada HIS kelas yang tinggi, anak-anak kebanyakan sudah berlagak seperti
laki-laki dewasa dan suka bergaul dengan bapaknya.
Oleh
karena itu, mereka harus dididik oleh guru laki-laki. Selain itu, mata
pelajaran di Taman Anak tersebut dikonsentrasikan pada pelajaran Latihan panca
indra. Sebab, mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberikan pengetahuan,
akan tetapi baru berusaha akan
menyempurnakan
rasa pikiran. Segala tenaga dan tingkah laku lahir yang mereka miliki
sebenarnya besar pengaruhnya bagi kehidupan batin mereka dan demikian pula
sebaliknya. Jalan perantaraan Pendidikan lahir ke dalam batinnya tesebut adlaah
melalui paca indra. Maka dari tiu, Latihan paca indra adalah pekerjaan lahir
untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dan lain-lain)
Di
Eropa, metode pengajaran seperti itu juga diakui. Orang yang pertama mendidik
anak dnegna cara demikian ialah sang pujangga pendidik, Dr. Frobel. Selain itu,
juga ada sang pujangg wanita, yakni Dr. Maria Montessori di kota Roma (Italia).
Metode Frobel dan Montessori in mempunyai perbedaan yang cukup besar, tetapi
ini yang dimiliki sebenarnya sama, yaitu mencari jalan lahir untuk mendidik
batin.
Mari
kita Kembali ke pembahasan tentang ‘Taman Anak’ di Yogyakarta. Dalam proses
pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan pada pelajaran
(latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga dimasukkan pada
pembelajaran di sekolah sebagai kultur. Kita tidak dapat membandingkan metode
Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang pengaruh tenaga lahir pada batin
seperti berikut:
a.
Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan
rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu
bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak
dipentingkan.
b.
Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya, tetapi
yang diutamakan adlah permainan anak- anak, kegembiraan anak, sehingga
pelajaran panca indra juga diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan
anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah.
c.
Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran
paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu
dianggap
satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah
laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among
(Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak.
Beberapa
contoh dapat disebutkan, misalnya permainan anak Jawa seperti: sumbar, gateng,
dan unclang ang mendidik anak agar saksama (titi paritis), cekatan,
menjernihkan penglihatan dan lain-lain. Kemudian juga permainan seperti: dakon,
cublak-cubak suweng dan kubuk yang mendidik anak tentang pengertian perhitungan
dan perkiraan (taksiran). selain itu, permainan gobag, trembung, raton, cu,
geritan, obrog, panahan si, jamuran, jelungan, dan lain-lain.nya yang bersifat
olahraga yang tentunya akan mendidik anak dalam hal: kekuatan dan kesehatan
badan, kecekatan dan keberanian, ketajaman dalam penglihatan dan lain-lain ada
juga permaianan seperti: mengutas bunga (ngronce), menyulam daun pisang atau
janur, atau membuat tikar, dan pekerjaan anak lainna yang dapat menjadikan
mereka memiliki sikanp tertib dan teratur.
Melihat
kondisi anak kita sendiri seperti yang dtelah dijelaskan diatas, sudah barang
tentu bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis
metode
Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi).
Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode Among Siswa.
Dengan
demikian, sangat jelas bahwa kita tidak perlu mengadakan barang tiruan jika
memang kitas dudah mempunyai barang tersebtu sendiri.
Sebagab,
barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang munri seperti kepunyaan
sendiri. Kain cap meskipun indah rupanya, tetapi derajatnya dibawah kain batik.
Yang boleh kita pakai sebagai alat penghidupan yaitu barang-barang yang tidak
kita miliki. Namun, waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk
kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin.
Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu.
Maksdunya,
disesuaikan dengan rasa kita dan keadaan hidup kita. Inilah yang dinamakan
“menasionalisasikan”.
Penjelasan
singkat tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan juga tentang
asas-asasnya ‘Taman Anak’ dala Taman Siswa yang disesuaikan dengan metode
Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum pendidik dan ibu-ibu dapat
mengadakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa kita.